
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan – Kini Aktivis Partai Ummat Depok)
DI TENGAH derasnya arus globalisasi informasi, teknologi, perdagangan, dan ekonomi, budaya lokal menghadapi tantangan besar. Budaya Minangkabau sebagai salah satu pilar peradaban Indonesia juga tidak luput dari gempuran nilai-nilai baru yang kerap kali tidak sejalan dengan jati diri bangsa.
Di sinilah pentingnya negara—melalui instrumen konstitusionalnya seperti Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)—untuk hadir dan mengambil peran, khususnya melalui para Senator asal Sumatera Barat, dalam memperkuat akar budaya lokal dalam kerangka budaya nasional dan global.
Minangkabau: Benteng Nilai dalam Era Disrupsi
Budaya Minang tidak hanya kaya secara estetika, tapi juga kuat secara filosofis. Falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” menunjukkan integrasi adat dan agama yang menjadi panduan hidup masyarakat. Tradisi merantau telah menempa masyarakat Minang untuk tangguh, adaptif, dan berdaya saing tinggi—modal penting di era globalisasi.
Namun semua itu kini berada dalam tekanan. Gaya hidup konsumtif, individualisme digital, hingga budaya instan yang masuk melalui kanal media sosial dan ekonomi pasar telah menggerus nilai-nilai luhur. Jika tidak direspons dengan kebijakan dan aksi nyata, maka warisan budaya Minang bisa kehilangan ruh dan makna aslinya.
DPD RI dan Senator Sumbar: Dari Representasi Menuju Advokasi Budaya
Sebagai lembaga perwakilan daerah di tingkat pusat, DPD RI seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi budaya daerah dengan kebijakan nasional. Sayangnya, dalam praktik politik nasional, isu budaya seringkali tersingkir oleh isu politik kekuasaan dan ekonomi jangka pendek.
Di sinilah Senator dari Sumatera Barat harus bangkit dan tampil ke depan. Mereka tidak hanya mewakili wilayah geografis, tetapi juga mewakili nilai-nilai Minang yang luhur dan khas. Peran ini bisa dilakukan dengan:
1. Mengusulkan kebijakan afirmatif budaya melalui legislasi, anggaran, dan pengawasan agar pelestarian budaya lokal menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional.
2. Menjadi penghubung aktif antara pelaku budaya dan negara, termasuk menggandeng nagari, lembaga adat, sanggar budaya, dan generasi muda dalam program kebudayaan berbasis komunitas.
3. Mendorong diplomasi budaya Minang ke tingkat nasional dan internasional—mengangkat randai, kuliner, tenun, dan falsafah Minang sebagai identitas yang layak dikenal dunia.
Budaya sebagai Daya Saing dan Ketahanan Nasional
Kita tak bisa lagi memandang budaya hanya sebagai romantisme masa lalu. Budaya adalah sumber daya strategis—bukan hanya dalam membentuk karakter bangsa, tetapi juga dalam menciptakan daya saing ekonomi melalui ekonomi kreatif. Produk budaya Minang, seperti rendang, tenun, dan arsitektur rumah gadang, memiliki potensi besar di pasar global. Tapi itu semua butuh regulasi, insentif, dan perlindungan negara.
Senator Sumbar harus memperjuangkan agar program-program pemajuan kebudayaan tidak sekadar proyek seremonial, tetapi menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional dan diplomasi Indonesia di dunia.
Penutup: Membangun Indonesia dari Nagari
Budaya Minang bukan hanya identitas Sumatera Barat—ia adalah kontributor penting bagi mozaik kebudayaan nasional. Jika kita gagal menjaga dan mengembangkannya, maka kita ikut menyumbang pada proses pelapukan identitas bangsa di era global.
Karena itu, Senator Sumbar di DPD RI tidak boleh pasif. Mereka harus menjadi pengawal nilai, penggerak kebijakan, dan penyambung suara budaya Minang dalam percaturan nasional dan global. Sudah saatnya budaya ditempatkan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional, dan Minangkabau sebagai contoh kearifan lokal yang tangguh di tengah zaman yang kian cepat berubah. *)