PADANG, forumsumbar —Permasalahan pembangunan Taman Budaya Sumbar di Jl Samudera Padang yang masih terbengkalai, serta adanya rencana alih fungsi dengan membangun hotel di lokasi tersebut, mendapat perhatian dari ‘Raja Penyair’ Pinto Janir.
“Salah satu kewajiban pemerintah itu merawat dan menjaga tradisi serta budaya. Bukan menukar-nukar nama yang sudah menjadi kearifan lokal,” ujar Pinto, Jumat (14/6/2024).
Menurut Pinto, Taman Budaya merupakan salah satu ‘Rumah Gadang‘ para pegiat pikiran dan seni untuk berkreasi menyampaikan ekspresi dan pikiran-pikiran. “Ia pengawal peradaban! Tugasnya, berat,” tegas seniman multitalenta kelahiran Padang ini.
Lanjutnya, membunuh pikiran dan memenjarakannya dengan cara melenyapkan ‘rumahnya’ sama saja dengan mengantarkan ruang dan massa pada ‘kepurbaan’ massal.
Mengenai adanya rencana pembangunan hotel di area Taman Budaya, Pinto meminta kepada Pemerintah Provinsi Sumbar, khususnya di arena Taman Budaya, sebaiknya tak usahlah buat hotel segala.
“Wilayah ini (maksudnya rencana pembangunan hotel itu tadi) serahkan sajalah pada para pengusaha yang bergerak di industri wisata. Saya khawatir, hotel ini justru akan menciptakan ‘lukah’ baru dan bisa saja, justru merepotkan keuangan daerah,” tukasnya.
Dengan tegas Pinto menyampaikan bahwa tak perlu hotel-hotelan dibangun. Bukankah pemprov sudah punya hotel di Jakarta? Nan Balerong itu? Konsen saja di sana dulu.
Menjadi tanya bagi Pinto, apakah laba hotel ini sudah sebanding dengan besarnya investasi. “Orang, pemilik hotel Oyo saja beroyak-oyak keuntungannya,” ucapnya.
“Jadi pendapat saya, Taman Budaya tetap menjadi industri pikiran dan tempat seniman berkreativitas. Bukan menjadi indistri perhotelan. Tapi, industri pikiran. Industri kreatif untuk peradaban masa depan,” tukuk Pinto, yang di samping sebagai penyair ia juga dikenal sebagai wartawan, penulis cerita pendek (cerpen) dan cerita bersambung (cerbung), serta penulis lagu dan sekaligus sebagai penyanyi.
Kalau pemprov akan ingin juga membuat hotel, bukankah masih banyak ‘lahan’ indah yang kosong dan lapang di nagari ini?
Di satu sisi, Pinto memahami alasan dibangun hotel itu mungkin adalah ‘sebagai subsidi silang’ pemeliharaan gedung untuk jangka panjang.
Disampaikan Pinto, membangun ‘kebudayaan’ adalah sama dengan membangun peradaban. Dan menolak pembangunan hotel di Taman Budaya, bukan berarti anti pembangunan. Bahkan, menurutnya mungkin sebaliknya.
Adalah melakukan percepatan pembangunan dengan menumbuhkan ‘pikiran-pikiran’ seniman dan budayawan yang bertaman di taman budaya.
“Saya pribadi, menyarankan pemprov untuk memikirkan mengalihkan rencana pembangunan hotel berbintang lima menjadi pembangunan ‘Rumah Budaya’ berbintang 7 untuk para seniman,” ucap penulis puisi yang terkumpul dalam buku dengan judul Akulah Sang Raja ini.
“Lalu, tentu akan muncul pertanyaan? Bagaimana dengan biaya pemeliharaannya kelak?” tanya Pinto.
Maka, kata Pinto lagi, di situlah dibutuhkan kehadiran pemerintah provinsi untuk rakyatnya.
“Kalau seandainya saya konglomerat, misalnya. Maka saya akan mewakafkan ‘tempat mewah’ untuk para insan berkreasi. Saya yang akan membangun ‘Taman Budaya’ impian untuk diwariskan pada anak cucu kelak,” tukas penulis novel Minang Pacar Lamo ini.
Sayang, sebut Pinto, ia hanya seniman. Bukan konglomerat. Bukan penguasa. Bukan anggota dewan. “Kalau saya misalnya anggota dewan, saya akan berada di depan menyuarakan ini,” tegasnya.
Karena bagi Pinto, kekuasaan itu adalah untuk (pengembangan) seni. Bukan berkesenian untuk meraih kekuasaan dan eksistensi politik.
“Kalau saya…ya kalau saya… misalnya saya ‘berkuasa’ maka kekuasaan yang ada di tangan saya ini akan saya jadikan alat untuk mengampanyekan seni dan budaya,” kata Pinto yang baru saja mendapatkan penghargaan dari SatuPena Sumbar sebagai Penyair dan Penulis Prolifik tahun 2024, yang diserahkan saat acara the 2nd IMLF (International Minangkabau Literacy Festival) beberapa waktu lalu di Istana Gubernur Sumbar.
“Akan saya gunakan kekuasaan untuk hidup bersatu, bertenggang rasa (bukan silang sengketa), damai dan tentram dan sejahtera,” tambah Pinto.
Dan…. Taman Budaya itu, katanya, taman untuk menumbuhkan dan merawat rasa cinta pada Indonesia. Karena, kebudayaan adalah alat perekat bangsa. Alat penguat nasionalisme. Melemahkan kerja-kerja kebudayaan berarti kita sama halnya dengan ‘membunuh diri’.
“Cinta kebudayaan, cinta NKRI,” beber Pinto yang saat ini sedang shooting film di Jakarta.
Konklusinya, tegasnya, merawat Kebudayaan Minangkabau berarti ikut menjaga dan merawat NKRI.
(Ika)