Oleh: Rafles Rajo Endah
(Wartawan Senior)
PERJALANAN panjang saya dari Padang ke Samarinda via Kuala Lumpur dan Balikpapan secara nyata sudah berakhir, seiring dengan kedatangan saya di Kota Tepian ini sekitar pukul 15.30 Waktu Indonesia Tengah (WIT), Minggu (8/9/2024).
Namun kedatangan saya ini tidak mampu menghapus jejak dan kenangan yang sudah saya torehkan dari empat kali kedatangan sebelumnya.
Kenangan yang paling terakhir justru membuat saya sedih dan seperti tidak pernah berhenti larut dalam duka.
Betapa tidak, teman seperjuangan saya di RRI Perbatasan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, H. Anasrul, kini telah mendahului saya dan kita semua. Saya dan H. Anasrul sama-sama pernah bertugas di RRI Perbatasan. Kamipun sama berprofesi sebagai Reporter RRI. Saya sehari-hari bertugas di RRI Padang dan H. Anasrul di RRI Bukittinggi.
Dalam bertugas di RRI Perbatasan, saya ditempatkan di RRI Studio Produksi Sendawar, Kabupaten Kutai Barat, sedangkan H. Anasrul di RRI Studio Produksi Nunukan, Kabupaten Nunukan, yang sama-sama berada dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan kegesitannya yang luar biasa, H. Anasrul berhasil meningkatkan status RRI Nunukan dari Studio Produksi menjadi Stasiun Penyiaran tipe C. Dengan demikian struktur organisasi dan sebutan pimpinan RRI Nunukan juga berubah dari Koordinator yang bersifat sementara menjadi Kepala Stasiun yang bersifat defenitif.
Keberadaan saya sebagai salah seorang Koordinator di RRI Studi Produksi Sendawar, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur sebenarnya juga tidak terlepas dari “lekat tangan” H. Anasrul.
Beberapa saat setelah pindah tugas dari RRI Studio Produksi Malinau yang juga berada dalam wilayah Produksi Provinsi Kalimantan Timur ke RRI Studio Produksi Nunukan, H. Anasrul menelpon saya. Rupanya saat itu sedang terjadi rotasi besar-besaran Koordinator RRI Studio Produksi di berbagai daerah. Beliau menawarkan kepada saya apakah saya bersedia bertugas di RRI Perbatasan atau RRI Studio Produksi.
Antara percaya dan tidak, antara takut dan bimbang saya bertanya kepada H. Anasrul apakah saya memenuhi syarat untuk itu. “Kualifikasi angku tu alah labiah dari cukuik, urang pusat pun alah tahu sia angku,” tegasnya.
“Tingga kemauan angku se lai,” tambahnya lagi.
Ternyata sebelum menelpon saya, H. Anasrul sudah terlebih dahulu mengusulkan nama saya ke Koordinator RRI Studio Produksi di tingkat Pusat di Jakarta.
Beberapa hari kemudian, Koordinator tingkat Pusat itu menelpon dan meminta saya untuk bersiap-siap sambil menunggu SK Penugasan yang sedang diproses.
Hanya berselang dua hari dia menelpon kembali. Kali ini kalimatnya bernada perintah. “Besok pagi anda sudah harus berangkat ke Jakarta, mampir ke Kantor Pusat ambil surat tugas, uang jalan dan tiket pesawat ke Balikpapan,” perintahnya.
“Untuk tiket pesawat dari Padang ke Jakarta sudah disiapkan oleh Kepala RRI Padang,” sambungnya lagi.
Walaupun masih diliputi rasa bimbang dan ragu, namun jawaban saya sangat jelas. “Siaaapp ndan,” tegas saya.
Selama hampir setengah tahun bertugas di RRI Studio Produksi Sendawar pada akhir tahun 2011, saya selalu berkomunikasi secara intens dengan H. Anasrul. Kadang sekadar bertanya kabar, tapi sering juga saya bertanya tentang kiat-kiat pendekatan kepada Pemerintah Daerah, terutama dengan Bupati, Ketua DPRD dan tokoh-tokoh masyarakat, sehingga keberadaan RRI di daerah itu mendapat pengakuan dari masyarakatnya.
Satu hal yang paling tidak mungkin saya lupakan adalah ketika Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha tiba. Di samping merencanakan liputan dan siaran langsung pada hari H, kami juga saling bertanya tentang rencana pribadi masing-masing. Biasanya percakapan kami diakhiri dengan nada suara sesenggukkan menahan tangis.
Yang paling lucu adalah ketika Hari Raya Idul Adha tiba. Usai Shalat Ied, Haji menelpon saya menanyakan sholat dimana dan dapat daging berapa, maksudnya berapa banyak dan dimasak apa saja.
“Banyak ji, ada 5 kantong besar”, jawab saya.
“Ndeh banyak mah, angku pangaan se tu,” tanya Haji.
Kami di RRI SP Sendawar memang kebagian banyak daging kurban. Hampir semua masjid terdekat memberikan kupon daging kurban. Beratnya juga tidak kira-kira, rata-rata 2 kilogram untuk setiap masjid. Malah ada satu Pesantren yang memotong hewan kurban dalam jumlah banyak, maka kamipun kebagian daging yang banyak pula.
Daging-daging itu kemudian saya pilah-pilah, ada yang ujung-ujung daging yaitu daging bercampur lemak, isi dalam seperti hati, paru, babat dan tambunsu serta daging padat. Daging ujung-ujung saya buat asam pedas, bagian isi dalam ditambah daging padat saya buat kalio yang setiap hari dipanaskan, akhirnya menjadi rendang, sedangkan sisa daging padat lainnya saya rebus dengan bumbu dan garam sekadarnya lalu diiris tipis dan dijemur sampai jadi dendeng kering yang bisa dimasak kapan saja.
Ketika hal itu saya ceritakan kepada Haji, dia sepertinya sangat senang tapi sekaligus kesal.
“Angku pandai memasak tantu iyo, disiko tabuang sajo dagiang sabanyak antah,” katanya separoh kesal dan menyesali.
“Kirimlah dendeng angku tu saparo kamari,” lanjutnya bercanda.
Selama saya bertugas di RRI Studio Produksi Sendawar, beberapa kali H. Anasrul meminta saya untuk datang ke Nunukan. Jawaban saya selalu standar. “Berat diongkos Ji,” jawab saya. Namun ajakannya yang terakhir agak sedikit mengancam. “Bilo angku ka kamari ko, ambo ka pindah lai,” katanya.
Kembali saya jawab dengan mengatakan berat diongkos. Tapi kali ini Haji memberi solusi. “Pokoknyo sampai sajo angku disiko alah mah, ka pulang nantik itu urusan ambo mah,” katanya lagi.
Maka jadilah saya berangkat dari Sendawar, Kabupaten Kutai Barat menuju Nunukan di Kabupaten Nunukan. Perjalanan ini cukup panjang dan lama.
Dari Sendawar saya harus menyusuri Sungai Mahakam selama 18 jam dengan kapal kayu berpenumpang sekitar 100 orang, lalu menginap setengah malam di Samarinda, lanjut dengan jalan darat selama 3 jam ke Balikpapan. Dari Balikpapan harus terbang dengan pesawat komersial selama 1 jam ke Tarakan, lalu disambung lagi dengan naik kapal ferry yang akan membelah lautan selama 2 jam menuju Nunukan.
Semuanya itu saya jalani hanya untuk bertemu dan melepas rindu dengan seorang teman seperjuangan H. Anasrul.
Beberapa hari di Nunukan, Haji juga mengajak saya menyeberang ke Tawau, Malaysia Timur dan menyuruh saya untuk berkunjung ke Pulau Sebatik, sebuah pulau kecil dan unik di perbatasan karena pulau menjadi milik bersama antara Indonesia dan Malaysia.
Kini H. Anasrul telah tiada sejak beberapa waktu lalu. Kepergiannya meninggalkan begitu banyak kenangan bagi saya yang tidak mungkin saya lupakan sampai saya menyusulnya ke alam baka.
Selamat jalan H. Anasrul, selamat bertemu Tuhanmu. Semoga Allah Subhanahuwata’ala menempatkanmu di Surga terbaiknya. Aamiin Ya Rabbala’lamiin…!
(Tamat, tulisan kenangan terakhir ini didedikasikan buat sahabat saya almarhum H. Anasrul)