
Oleh: Patria Subuh
SESUNGGUHNYA dalam mencermati suatu masalah terutama yang berkenaan dengan persoalan sehari-hari sering terkait beberapa hal yang seolah-olah tidak saling berhubungan. Padahal tidak sedikit suatu persoalan memuncak menjadi masalah akibat terlibatnya berbagai hal lain yang saling mempengaruhinya.
Ibaratnya gunung es, persoalan ini kemudian berubah menjadi rumit setelah muncul masalah lain yang sulit untuk diselesaikan secara logis.
Saat ini, remaja dihadapkan pada kemajuan teknologi digital yang sangat cepat beserta dengan kecanggihannya yang belum ada padanannya dengan seperti jaman orangtua mereka dahulu.
Banyak orangtua merasa canggung dan kelabakan dengan kelakuan anak remaja mereka masa kini ketika sudah asyik menggunakan gajet berteknologi itu.
Kejutan teknologi digital menyebabkan munculnya varians baru kenakalan remaja yang sulit dideteksi dan diantisipasi, yang sedikit banyaknya berdampak terhadap kelangsungan masa depan mereka.
Seperti halnya ‘game online’, permainan ‘judi online’ juga merupakan sesuatu yang sangat mengasyikkan bagi remaja pengguna gawai berteknologi digital.
Para orangtua mengeluh karena anak-anak mereka cenderung lebih sibuk, asyik menyendiri dengan gawainya daripada bercengkerama bersama mereka. Sedangkan kesibukan pekerjaan membuat orangtua tak dapat terus menerus memonitor perkembangan anaknya sehingga mereka cenderung jalan sendiri-sendiri.
Di permukaan, kelihatannya seperti tidak ada persoalan antara para orangtua dengan anak remajanya. Seolah-olah kehidupan berlangsung seperti biasa sebagaimana adanya. Padahal di bawah permukaan, terjadi evolusi hubungan yang semakin mengarah kepada hubungan yang monoton, individualistis dan soliter.
Remaja semakin sering menyendiri dengan gawainya tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya. Saking asyiknya bergawai ria, sehingga kadang-kadang sampai lupa makan dan lupa belajar bahkan lupa tidur.
Menarik untuk dikaji bahwa ternyata, sifat menduanya teknologi disamping dapat memberi ‘manfaat’ untuk kemashlahatan hidup, di sisi lain ternyata juga dapat membuat ‘mudharat’ yang sulit dicari penyelesaiannya bagi para orangtua.
Di satu sisi remaja menjadi lebih melek teknologi, sehingga dapat mempergunakan gawainya untuk tujuan belajar menambah pengetahuan, namun di sisi lain remaja lebih banyak tersita waktunya untuk tujuan yang lebih rileks seperti game online, judi online atau bahkan nonton film.
Ke depan, barangkali para guru di sekolah perlu mengaktifkan lagi Bimbingan dan Konseling (BK) untuk ikut memantau dan mengevaluasi sejauhmana manfaat penggunaan gadget ( Hp, Laptop, Tablet) terhadap prestasi belajar murid-muridnya.
Di samping itu, kerjasama tripartit yang terbuka antara guru, orangtua dan murid seyogyanya lebih ditingkatkan untuk mengantisipasi efek negatif penggunaan gadget oleh para remaja. Bagaimanapun, para remaja adalah estafet generasi penerus bangsa yang perlu diperlakukan secara manusiawi dan hati-hati menyongsong abad teknologi digital saat ini. *)
Penulis adalah Pengamat Sosial
