
PADANG, forumsumbar —Abrar Yusra merupakan wartawan, penyair, novelis dan penulis biografi Indonesia asal Ranah Minang.
Abrar Yusra lahir pada tanggal 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat (pada umur 72 tahun).
Sebagai penyair Abrar Yusra banyak menulis puisi, dan terbit di media cetak lokal di Sumatera Barat, maupun nasional. Berikut beberapa puisi karyanya;
Kampuchea:
Sungai Malam
Oleh: Abrar Yusra
Tusuk letusan berasap amis mayat-mayat mengigau
mengigau-igau menyusupi daging-daging panas sedihku!
Kutuk perang membusukkan hidup di tubuh-tubuh kita
di bawah langit dan hutan sungai malam
memburu pagi:
Mata kita ialah malam
Riwayat kita ialah hutan malam
Mimpi kita ialah gunung gelap
Mimpi kita ialah langit gelap
Mengungsilah, sungai malam, memburu pagi!
Burulah, burulah pagi yang tak memburu siapa-siapa!
Jakarta, 18 April 1987
Sumber: Horison (Juli, 1989)
Talqin
Oleh: Abrar Yusra
Makhluk ganjil masa depan itu terkapar sekarat
mengerami samar kilau fatamorgana ruang batinku yang hangus
di gurun, disesah panas berabad-abad: aku mengerang
bahang gurun itu mengisap darah di daging-dagingku!
Tak ada dokter bagi yang hangus sekarat karena hujan
hanya abu-abu kering berapi hanya angin membe-
rondongkan debu di batu-batu!
Tapi ada dua orang kumal mencakar-cakar atau
membelai-belai kulit daging waktu, bagian dalam
dadaku, kukira majenun
tapi tidak; dalam debu menghibur atau menangis belaka
sepanjang waktu! Menghibur atau menangis saja!
Yang seorang di kiri menggaruk-garukkan kuku sedihnya
pada dagingku yang disangkanya sitar tua, alangkah pedih
sedih yang melampias jadi nyanyian:
ia bahagia menusuk-nusuk hatiku dengan jarum-jarum sedih!
Yang seorang di kanan untuk khusyuk tak menyakiti apa-apa
bisik-bisiknya lembut di ruang batinku sebuah lobang
kubur baginya:
Ia membacakan talqin bagi dunia!
Mati aku! entah mau tertawa atau menangis
di dunia yang amat tua tapi masih amat menggoda
Jakarta, 21 April 1987
Sumber: Horison (Juli, 1989)
Sepanjang Sungai
Oleh: Abrar Yusra
Di tepi sungai, di dalam sungai, sepanjang sungai
aku tidak bicara. Sebab aku sendirian
sepanjang siang sepanjang malam
Aku tidak bicara sebab aku sendirian
Aku melewati hari. Harus melewati hari
dari siang ke malam dan malam ke siang
Tubuh berpeluh
Hatiku sunyi
Yang bicara hanya bunyi air
yang meradang, yang tertumbuk-tumbuk tapi terus menghilir
Aku tidak bicara. Sebab aku sendirian
Yang bicara ialah air. Bunyi air
Apa bicara air?
Apa bicara air aku tidak mengerti!
Tapi ada bunyi air, yang mengalir dan yang hilir
yang bicara dengan sunyi, sunyi sepanjang sungai
Bunyi air!
Bunyi air memenuhi sunyi. Memenuhi hidupku
dan siang ke malam dan malam ke siang
Dari kelam ke mimpi
Dari mimpi ke hangus matahari!
Kudengar bunyi air. Aku dirasuki bunyi air
Kudengar bunyi air di luar di dalam diriku
Kudengar bunyi air bunyi bicaraku
Apa bicara air aku tidak mengerti
Bicara air bicaraku. Bicaraku bicara air!
Sungguh sebenarnya aku tak mengerti
Aku sebenarnya tidak bicara. Sebab aku sendiri
Kudengar bunyi-bunyi air
Di luar di dalam diriku!
Sumber: Horison (Juli, 1989)
Kugigit Batu Sungai
Oleh: Abrar Yusra
Tidak tentu lagi hari apa. Tapi jelas angin
senja berkerosok di tepi hutan sepanjang sungai
berkabut
Sungai berbisik-bisik bercengkerma
dengan batu-batu dan sepi waktu:
“Aku benar-benar tak tahu apa-apa!” hati kecilku
mengaku “Ini benar-benar di luar rencanaku!”
Sebelum benar-benar malam, kugigit pecah
batu sungai
berdarah!
8 Desember 1984
Sumber: Horison (Juni, 1987)
Hamlet:
Dialog dengan Taufiq Ismail
Oleh: Abrar Yusra
Nasib adalah rahasia asing dan sangat mengerikan
di tangan algojo berlumuran darah. Sementara kita mengira
kita tak bebas dari jangkauannya!
Siapa memberi peran kepadanya?
Wahai. Hamlet!
Jangankan menggerakkan
tangan berpisau, bahkan untuk berbicara atau membisu
aku diliputi ragu
Tak berani aku memprotes, bahkan tidak untuk bertanya
Tak tahan berdiam diri dan berlagak tak tahu apa
Inilah dilemma!
(Aku cemburu pada yang berbicara dan lantang-lantang!
lalu dengan takut atau tidak, digiring ….
Aku simpati padamu yang bungkam dan dirimu cemas ka-
rena bungkam. Deritamu menggores-gores, tak terhibur ….)
Jika aku berbicara juga
adalah hanya imej, atau hanya lambang dan metaform
Ya. Hamlet
Kutulis sajak-sajakku!
1978
Sumber: Horison (Juni, 1987)
Nina Bobok
Oleh: Abrar Yusra
Boboklah, sayang
di tengah ledakan-ledakan petasan
di kamar. Boboklah sayang
di tengah letusan letusan pertempuran
memenuhi masa kecilmu
siang malam
Boboklah dengan perut lapar
dengan bibir dahaga
di tengah perkelahian di dalam dan di luar rumah
Boboklah, sayang
di udara pepak ruang sempit bau comberan
ini. Hiruplah udara kotor dan boboklah
Boboklah, sayang, tanpa impian
tanpa harapan
Ciumlah ibu atau tidak!
Ciumlah ayah atau tidak!
Tiada janji apapun. Tidak cinta apapun
di masa depan! Tapi bobok, boboklah sayang!
Boboklah di dunia yang penuh ketakutan dan pengkhianatan
Dunia tanpa pertolongan
meskipun hanya sekedar kepastian atau impian
Kelahiranmu bukan kehendakmu dan kehendak siapapun
Dan kematianmu bukan kehendakmu
Terimalah saja. Tempuhlah
Semoga kalak engkau tahu
asal usul dan hakikat
hidup matimu!
1980
Sumber: Horison (Juni, 1987)
Jika Perantau Singgah di Lepau (1)
Oleh: Abrar Yusra
Dan pagi sampai senja sampai malam
rantau demi rantau kujelajahi. Kujelajahi
rantau demi rantau
Lapar mengenyangkan perutku!
Rindu mengenyangkan cintaku!
Dan impian mengenyangkan deritaku!
Kukenal laparmu. Dan rindumu. Dan impianmu!
Kita semua, kau aku dan dia bukan orang lain
Kita semua perantau juga. Tak ada orang lain
kecuali nama lain yang tak amat berbeda
Kita memang
dari Adam dan Hawa semua. Tercampak
di rantau ini. Di bumi yang satu!
Segala jalan
adalah jalanku juga. Segala tempat
adalah tempatku pula. Segala rumah
adalah rumahku. Dan segala lepau
Sebab aku perantau maka yakinlah aku
tak ada rantau yang terlalu menarik kecuali rantau
yang belum dikunjungi!
Jika Perantau Singgah di Lepau (2)
Kukenal baik rantau demi rantau
juga wajah-wajah maut yang berpapasan
sepanjang jalan. Dan jika suatu saat
maut berkhianat dan menghabisi riwayat
di tepi jalan, yah, tibalah saat
masing-masing memasuki rantau yang lain
tanpa kaki. Tak seorangpun tahu apa terjadi
di sana. Siap-siaplah saja. Tanya dan jawab sendiri nanti
Sebab mereka yang masuk lebih dulu
tak pernah kembali. Agaknya takkan pernah kembali!
6 Agustus 1985
Sumber: Horison (Juni, 1987)
(Tan)
(Dari berbagai sumber)