
Oleh: Muhammad Najmi
(Wakil Ketua PWM Sumbar)
PESAN yang disampaikan oleh Prof Haedar Nashir pada pembukaan Pengajian Ramadhan 1446H di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada hari Kamis 6 maret 2025, mengandung makna yang begitu dalam: Muhammadiyah bertahan bukan karena individu-individu yang mengisinya, tetapi karena warisan pemikiran yang diletakkan pendiri dan terus dikembangkan oleh generasi setelahnya. Ini adalah pengingat bahwa dalam menggerakkan Muhammadiyah, kita tidak boleh sekadar berpegang pada pemikiran dan kepentingan pribadi, tetapi harus berpijak pada state of mind yang telah dirumuskan oleh organisasi ini sebagai hasil dari ijtihad kolektifnya.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah prinsip ini benar-benar sudah kita jalankan di Sumatera Barat? Ataukah justru Muhammadiyah di daerah ini sering terjebak dalam ego kelompok dan kepentingan individu yang menghambat pergerakan? Jika kita jujur melakukan otokritik, kita harus mengakui bahwa dalam beberapa aspek, realitas di lapangan masih jauh dari ideal yang diharapkan.
Wasathiyah Secara Teologis: Benarkah Kita Sudah Berkemajuan?
Secara teologis, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang wasathiyah—menjaga keseimbangan antara kemurnian ajaran Islam dan keberanian dalam melakukan pembaruan (tajdid). Namun, dalam praktiknya, kita sering terjebak dalam dikotomi yang tidak perlu: antara mempertahankan tradisi yang kaku dan mencoba pembaruan yang sering dianggap kontroversial.
Di Sumatera Barat, masih banyak warga Muhammadiyah yang lebih sibuk berdebat soal siapa yang lebih Muhammadiyah daripada fokus pada dakwah yang lebih substansial. Ada kecenderungan untuk mempertahankan identitas secara simbolis—seperti mengutamakan aspek legal-formal dari fatwa dan putusan tarjih—tetapi belum sepenuhnya menerjemahkannya dalam gerakan yang benar-benar menjawab tantangan zaman.
Jika kita mengaku sebagai Islam berkemajuan, seharusnya Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi pelopor dalam memikirkan solusi nyata bagi umat. Tetapi apakah kita sudah cukup aktif dalam menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di daerah ini? Atau justru kita lebih sering berpuas diri dengan apa yang sudah ada, tanpa keberanian untuk melakukan lompatan besar?
Wasathiyah Secara Ideologis: Mandiri atau Terjebak Feodalisme?
Muhammadiyah adalah gerakan yang dikenal dengan kemandiriannya, baik dalam pemikiran maupun dalam membangun amal usaha. Namun, apakah Muhammadiyah di Sumatera Barat benar-benar telah menjelma sebagai gerakan yang mandiri secara ideologis?
Jika kita amati, masih ada kecenderungan feodalisme dalam kepemimpinan organisasi ini. Tidak sedikit keputusan di Muhammadiyah yang masih dipengaruhi oleh relasi personal, bukan oleh pertimbangan objektif dan profesional. Ada kelompok-kelompok yang lebih nyaman mempertahankan status quo karena takut perubahan akan mengguncang kenyamanan mereka.
Dalam situasi seperti ini, state of mind yang digarisbawahi Prof Haedar Nashir seolah-olah hanya menjadi jargon. Bukannya membangun gerakan berbasis kolektif, justru banyak agenda Muhammadiyah yang akhirnya tersandera oleh kepentingan kelompok kecil yang ingin mempertahankan posisi mereka. Akibatnya, inovasi sering kali tertahan, dan Muhammadiyah di Sumatera Barat berjalan di tempat.
Padahal, jika benar Muhammadiyah ini telah “menjiwa” dalam diri kita, seharusnya tidak ada lagi sekat-sekat kelompok dalam pergerakan ini. Yang kita ke depankan bukan siapa yang memimpin, tetapi bagaimana Muhammadiyah bisa lebih maju dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Wasathiyah Secara Praksis: Dari Sekadar Bertahan ke Berinovasi
Dalam praktiknya, amal usaha Muhammadiyah (AUM) di Sumatera Barat memang masih berjalan. Sekolah-sekolah, universitas, dan lembaga kesehatan Muhammadiyah tetap eksis. Tetapi eksistensi saja tidak cukup. Apakah AUM kita hanya bertahan, atau benar-benar berkembang?
Faktanya, banyak AUM yang masih berjalan dengan pola lama. Model bisnisnya kurang inovatif, pengelolaannya masih konvensional, dan daya saingnya mulai tertinggal. Sementara itu, dunia bergerak cepat. Jika kita tidak berbenah, bukan tidak mungkin AUM kita akan kehilangan relevansinya.
Ambil contoh sektor pendidikan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah masih menjadi pilihan, tetapi apakah kualitasnya sudah benar-benar melampaui sekolah lain? Apakah metode pembelajarannya sudah adaptif dengan kebutuhan zaman? Jika kita terus bertahan dengan pola lama tanpa inovasi, maka lambat laun AUM kita akan tergerus oleh sekolah lain yang lebih progresif.
Begitu pula dalam bidang ekonomi dan sosial. Muhammadiyah Sumatera Barat seharusnya menjadi pelopor dalam membangun ekonomi umat yang berbasis keadilan dan kemandirian. Tetapi, koperasi Muhammadiyah yang seharusnya bisa menjadi lokomotif ekonomi belum berkembang signifikan. Holding usaha Muhammadiyah yang sempat dirintis kini justru mati suri. Sementara itu, di daerah lain, Muhammadiyah telah membangun perbankan syariah, rumah sakit modern, dan pusat bisnis yang kuat.
Jika kita tidak segera mengevaluasi diri, kita akan tertinggal semakin jauh. Prof Haedar Nashir menegaskan bahwa individu dalam Muhammadiyah akan datang dan pergi, tetapi organisasi ini harus tetap berjalan dengan bingkai yang jelas. Maka, pertanyaannya adalah, apakah Muhammadiyah di Sumatera Barat benar-benar sudah berjalan dengan arah yang jelas? Atau justru kita masih terjebak dalam siklus yang sama, tanpa ada perubahan berarti?
Kesimpulan: Berani Berbenah atau Sekadar Bertahan?
Pesan Prof Haedar Nashir seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Kita bisa saja mengagumi keindahan kata-kata tentang warisan pemikiran Muhammadiyah, tetapi jika kita tidak menjadikannya sebagai arah gerak yang nyata, maka semua itu hanya akan menjadi retorika kosong.
Muhammadiyah di Sumatera Barat harus berani berbenah. Kita harus berani menatap ke depan dengan gagasan besar, bukan sekadar bertahan dengan kebiasaan lama. Kita harus kembali kepada semangat awal Muhammadiyah sebagai gerakan yang berpikir maju, tidak hanya dalam wacana, tetapi juga dalam praktik.
Wasathiyah yang sejati bukan hanya soal keseimbangan antara tradisi dan pembaruan, tetapi juga soal keberanian untuk terus berkembang tanpa kehilangan identitas. Jika kita benar-benar ingin menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan yang berkemajuan, maka saatnya kita berhenti hanya berbicara dan mulai benar-benar bergerak.
Karena pada akhirnya, sejarah hanya akan mencatat dua jenis manusia dalam Muhammadiyah: mereka yang hanya menjadi bagian dari organisasi ini, dan mereka yang benar-benar menggerakkannya. Pilihan ada di tangan kita. *)