Oleh: Patria Subuh
KEHADIRAN moda transportasi rel kereta api yang biasa disebut ‘Mak Itam”, tak dapat dilepaskan dari sejarah kehadiran Belanda di Sawahlunto.
Pada tanggal 6 Juli 1889, Pemerintah Hindia Belanda membangun stasiun kereta api pertama di Simpang Haru, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, yang bertujuan untuk mengangkut batu bara dari kota tambang Sawahlunto ke Pelabuhan laut Emmahaven (Teluk Bayur, red) yang berfungsi sebagai pelabuhan transit menuju Eropa.
Jalur kereta api yang dibangun meliputi Jalur Pulau Aia (Muaro Padang) – Padang Pariaman – Padang Panjang – Tanah Datar – Solok – Muaro Kalaban – Sawahlunto.
Pelaksanaan jalur kereta api ini berdasarkan pada besluit yang dicatat dalam Staatblaad No. 176 Tahun 1891.
Pembangunan jalur kereta api ini selesai seluruhnya pada Tahun 1892 dan pada saat itu juga mulai dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dewasa ini PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang bertindak selalu pengelola hanya melayani kereta api penumpang jarak dekat, seperti layanan kereta komuter Padang – Pariaman saja. Sedangkan Layanan kereta api batu bara telah berakhir pada tahun 2002 – 2003 akibat produksi batu bara yang semakin tidak efisien, atau habis.
Pemerintah menganggap bahwa angkutan batu bara dari Sawahlunto ke Padang sudah tidak memiliki Nilai Ekonomis yang menguntungkan lagi sehingga terpaksa di non-aktifkan.
Di samping itu, pengangkutan batu bara yang dikelola oleh PT. BA UPO (Bukit Asam – Unit Penambangan Ombilin) dianggap tidak efektif lagi karena tingginya biaya produksi batu bara dari lubang ‘tambang dalam’. Sementara itu, deposit batu bara pada lubang ‘tambang dangkal’ sudah tidak dapat diandalkan lagi.
Diversifikasi jalur kereta api tambang menjadi kereta api penumpang di Sumatera Barat memerlukan profesionalisme baru yang sangat menarik untuk dikaji ulang. Wilayah belakang (hinterland) Kota Padang terutama seperti Pariaman, Lubuk Alung, Sicincin dan Padang Panjang memerlukan transportasi murah tepat waktu yang bersifat massal dengan kedatangan yang tepat waktu.
Apabila Pemerintah serius menggarap sistim transportasi massal berbasis rel ini, maka diperkirakan investor luar negeri akan cukup tertarik akan hal ini.
Kota Padang sebagai Kota yang sedang tumbuh (Growing City) diproyeksikan sebagai kota perdagangan untuk wilayah Bagian Barat Pulau Sumatera.
Kontribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku nya pada Tahun 2021 lalu tercatat sebesar 25,72 % (atau sekitar Rp65,18 T) terhadap total PDRB Provinsi Sumatera Barat (sekitar Rp252,75 T). Hal ini merupakan gambaran riil terhadap potensi ekonomi yang dimilikinya selama kurun waktu di maksud.
Perkembangan Kota Padang yang pesat dari sisi jumlah penduduk (928.145 jiwa tahun 2023, sumber BPS), Kabupaten Padang Pariaman (430.626 jiwa, Tahun 2020) serta Kota Pariaman (( 101.068 jiwa Tahun 2023) menggambarkan tingginya kebutuhan sarana transportasi komuter dari dan ke Kota Padang.
Untuk 3 wilayah ini saja masih diperlukan sarana transportasi massal yang mampu menampung ‘komuter’ pulang-pergi dari dan ke wilayah utama (Kota Padang) terutama pada hari-hari kerja.
Sudah selayaknya pemerintah memikirkan alternatif penggunaan transportasi massal yang hemat dan tepat waktu pada kaum urban perkotaan, salah satunya adalah dengan mengefektifkan pemanfaatan ‘Mak Itam’, sebagai moda transportasi rel yang lebih modern dan mumpuni, terjangkau oleh semua khalayak dan dapat diandalkan oleh semua pihak.
Melakukan kerjasama join operation yang saling menguntungkan (win-win solution) dengan pihak lain yang lebih ahli dalam manajemen transportasi rel kereta api merupakan salah satu alternatif yang menarik bagi pihak terkait. *)
Penulis adalah Pengamat Sosial