LIMAPULUH KOTA, forumsumbar —Mungkin tak semua masyarakat Sumbar familiar dengan nama Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota. Memang, nagari ini tidaklah sepopuler Mandeh di Kabupaten Pesisir Selatan yang identik dengan keindahan pantainya, ataupun sekondang Pariangan di KabupatenTanah Datar yang tersohor akan keelokan alamnya.
Namun, keeksotikan nagari yang terletak di deretan Bukit Barisan tersebut dijamin mampu membius pelancong yang berkunjung ke daerah tersebut. Rabu (23/9), Tim MMC Diskominfo Sumbar berkesempatan mengeksplor daerah yang penuh historis itu.
Memasuki wilayah dalam teritori Kecamatan Gunung Omeh ini, mata pengunjung akan dimanjakan hijaunya ribuan pohon jeruk yang tertata rapi dengan buah mulai menguning. Sapaan hangat dibarengi senyum tulus penduduk setempat membuat suasana jadi nyaman. Penatnya tubuh akibat perjalanan panjang dari Kota Padang seakan terobati. Ditambah hembusan angin khas daerah pegunungan membikin otak terasa lebih segar.
Menurut Yazid (25) pegawai nagari setempat, beberapa tahun belakangan, masyarakat lokal telah menjadikan jeruk sebagai komoditi usaha utama mereka. Tak heran, hampir setiap pekarangan rumah penduduk, ditemui pohon buah yang bibitnya berasal dari wilayah Kuok Provinsi Riau ini.
“Selain pekarangan rumah, penduduk disini juga memiliki ladang jeruk. Umumnya ladang tersebut terletak di punggung bukit. Biasanya pohon jeruk diselingi dengan tanaman cabe,” sebutnya seraya menunjuk ke arah bukit yang terletak tak jauh dari sana.
Jeruk Gunung Omeh, begitu nama bekennya memang berbeda dari buah sejenis yang ada Indonesia. Selain besar dan manis, kandungan air juga banyak. Sudah tentu kadar vitamin C tinggi, Tak heran, permintaannya pun banyak. Baik itu dari Sumbar maupun luar provinsi. Bahkan pangsa pasarnya telah menembus Singapura dan Malaysia.
“Biasanya petani di sini menjual langsung ke agen. Merekalah yang nanti memasarkan keluar daerah. Untuk harga, menyesuaikan jumlah barang. Saat panen dan buah banjir, sekilo jeruk dihargai Rp8 ribu. Jika stok tak banyak, harga dua kali lipat, sampai Rp16 ribu perkilonya,” terang Yazid.
Tren agrowisata rupanya turut membius penduduk Koto Tinggi. Tak ingin ketinggalan, masyarakat disini juga ingin mengembangkan potensi daerah menjadi kawasan agrowisata. Bahkan beberapa anggota kelompok tani dan kelompok sadar wisata telah mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan pemerintah tentang bagaimana cara mengelola agrowisata yang baik dan benar.
“Seharusnya, program agrowisata berjalan awal tahun. Pemerintah telah berjanji membantu sebagian infrastruktur. Cuma, pandemi menghambat itu semua. Untung masyarakat di sini tak putus asa. Mereka tetap membangun sarana semampunya dengan swadaya sendiri,” ujar pria murah senyum tersebut.
(Rel/KominfoSB)