
Oleh: Dr. Drs. Khairil Anwar, M.Si
(Dosen Universitas Andalas)
Pendahuluan
Minangkabau, salah satu etnik yang memiliki tradisi kearifan lokal yang sangat kuat. Masyarakat Minangkabau, yang berasal dari Sumatera Barat, dikenal dengan adat istiadatnya yang menekankan pentingnya kedamaian, musyawarah, dan keharmonisan. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi tantangan dalam mengatasi berbagai bentuk kekerasan, khususnya dalam dunia pendidikan. Permen No. 55 Tahun 2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi hadir sebagai langkah konkret untuk mengatasi masalah ini di tingkat perguruan tinggi.
Artikel ini akan membahas bagaimana nilai-nilai budaya Minangkabau yang mengedepankan perdamaian dan penghargaan terhadap martabat manusia dapat berperan dalam mendukung implementasi Permen No. 55 Tahun 2024 dalam pencegahan kekerasan di perguruan tinggi di Sumatera Barat. Melalui penerapan prinsip-prinsip anti kekerasan yang terkandung dalam kebijakan ini, perguruan tinggi di Sumatera Barat dapat menjadi contoh bagi pendidikan tinggi di Indonesia yang aman, inklusif, dan penuh kedamaian.
Minangkabau: Budaya yang Menjunjung Perdamaian
Minangkabau adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia, yang berasal dari wilayah Sumatera Barat. Mereka memiliki sistem sosial yang khas, yaitu matrilineal, di mana garis keturunan diturunkan melalui ibu. Hal ini memberikan posisi yang sangat penting kepada perempuan dalam struktur sosial dan keluarga, yang menjadikan Minangkabau sebagai masyarakat yang menghargai kesetaraan gender dan perdamaian.
Prinsip utama dalam budaya Minangkabau adalah inklusif dengan nilai-nilai musyawarah, mufakat, dan penghargaan terhadap martabat individu. Hal ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan mereka, seperti dalam sistem adat pernikahan, penyelesaian sengketa, dan kehidupan sosial sehari-hari. Hal itu diajarkan dalam ajaran adat yang berazaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, yang berarti bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada ajaran agama dan hukum yang adil.
Setiap orang diakui eksistensinya dengan kekhasan dan fungsinya masing-masing, nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni jamua, nan binguang ka disuruah disarayo, nan cadiak tampai baiyo, nan kuaik tampaik balinduang (yang buta peniup lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penjaga jemuran padi, yang binguang untuk disuruh , yang pintar tempat minta pendapat, yang kuat tempat berlindung).
Musyawarah dan mufakat sebagai jalan untuk mencapai kesepakatan tanpa kekerasan menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Mereka percaya bahwa setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan cara yang baik melalui dialog terbuka dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, bukan dengan cara kekerasan. Budaya ini sangat relevan dalam upaya menciptakan lingkungan yang aman dan bebas kekerasan, terutama dalam konteks pendidikan tinggi.
Permen No. 55 Tahun 2024: Kebijakan Anti Kekerasan di Perguruan Tinggi
Permen No. 55 Tahun 2024 adalah regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang bertujuan untuk menanggulangi berbagai bentuk kekerasan di dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, intimidasi dan diskriminasi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan yang berpotensi terjadi di lingkungan kampus.
Salah satu aspek penting dari Permen No. 55 Tahun 2024 adalah kewajiban setiap perguruan tinggi untuk memiliki kebijakan anti kekerasan yang jelas. Perguruan tinggi juga diharuskan menyediakan mekanisme pengaduan yang aman bagi korban kekerasan serta menyusun langkah-langkah preventif dan restoratif untuk menangani kasus-kasus kekerasan. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan kampus yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan mahasiswa dan tenaga pendidik tanpa ada rasa takut akan kekerasan.
Selain itu, kebijakan ini juga menekankan pentingnya pendidikan berbasis nilai-nilai budaya dan kemanusiaan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia. Perguruan tinggi harus mengembangkan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga membangun karakter mahasiswa yang berbasis pada rasa hormat terhadap sesama dan pemecahan masalah secara damai.
Sinergi Nilai Budaya Minangkabau dengan Penerapan Permen No. 55 Tahun 2024 di Perguruan Tinggi Sumatera Barat
Sebagai etnik yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, Minangkabau memiliki banyak kesamaan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Permen No. 55 Tahun 2024. Perguruan tinggi di Sumatera Barat, sebagai tempat pendidikan bagi generasi muda, memiliki peran yang sangat penting dalam mengimplementasikan kebijakan ini dengan mengadaptasi nilai-nilai budaya Minangkabau yang anti kekerasan.
1. Musyawarah dan Mufakat:
Musyawarah dan mufakat adalah prinsip utama dalam budaya Minangkabau yang dapat diterapkan dalam penyelesaian konflik di kampus. Di masyarakat Minangkabau, segala bentuk permasalahan cenderung diselesaikan dengan berdiskusi dan mencari jalan tengah yang disepakati oleh semua pihak.
Hal ini sangat relevan dengan kebijakan Permendikbudristekdikti yang mengutamakan penyelesaian masalah secara damai melalui mediasi dan dialog, bukan dengan kekerasan. Perguruan tinggi di Sumatera Barat dapat mengadaptasi prinsip ini dengan membentuk forum musyawarah untuk menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan kampus, baik itu kekerasan fisik, psikologis, maupun seksual.
2. Pendidikan Karakter yang Berlandaskan Adat:
Budaya Minangkabau menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk karakter dan moral individu. Hal ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan keluarga hingga pendidikan formal. Pendidikan di Minangkabau tidak hanya bertujuan untuk mencetak individu yang cerdas secara akademis, tetapi juga untuk membentuk pribadi yang berbudi pekerti luhur, menghargai sesama, dan mampu menyelesaikan konflik dengan cara yang bijak.
Dalam konteks Permendikbudristekdikti, perguruan tinggi di Sumatera Barat dapat mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal ini dalam kurikulum dan kegiatan kampus, dengan tujuan membentuk mahasiswa yang tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan mampu menghindari kekerasan.
3. Gotong Royong dalam Menanggulangi Kekerasan:
Minangkabau dikenal dengan semangat gotong royong yang sangat kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka selalu berusaha untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Konsep gotong royong ini sangat relevan dengan upaya untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas kekerasan.
Dalam konteks ini, seluruh elemen kampus – mahasiswa, dosen, dan staf, serta mitra perguruan tinggi – diharapkan untuk bekerja sama dalam mengimplementasikan kebijakan anti kekerasan. Misalnya, dengan mendukung mekanisme pengaduan yang aman, memberikan pelatihan tentang penyelesaian konflik, serta berpartisipasi dalam kegiatan yang mendukung terciptanya kampus yang aman dan inklusif.
4. Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia:
Dalam budaya Minangkabau, setiap individu dihargai martabatnya, termasuk perempuan yang memiliki posisi sangat penting dalam masyarakat. Prinsip ini sangat sejalan dengan Permendikbudristekdikti yang menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup bebas dari kekerasan.
Perguruan tinggi di Sumatera Barat dapat mengembangkan kebijakan yang melindungi hak-hak mahasiswa dan staf, serta memastikan bahwa tidak ada diskriminasi atau kekerasan yang terjadi dalam lingkungan kampus. Pendidikan tentang hak asasi manusia dan perlindungan terhadap korban kekerasan sangat penting untuk dilakukan di semua perguruan tinggi di Sumatera Barat.
5. Harga diri dan Malu:
Dalam budaya Minangkabau, prinsip harga diri (marwah) dan malu merupakan nilai fundamental yang membentengi diri dari berbuat cemo (cemar) dan membentuk perilaku sosial masyarakatnya. Harga diri dijaga melalui sikap terhormat, jujur, dan bertanggung jawab, sementara rasa malu menjadi rem moral yang mencegah seseorang melakukan tindakan tercela atau merugikan orang lain.
Nilai ini berfungsi sebagai kontrol sosial yang kuat – seseorang yang kehilangan rasa malu dianggap telah merusak kehormatan keluarga dan kaumnya. Karena itu, masyarakat Minangkabau sangat menjunjung perilaku santun, menghindari konflik terbuka, dan lebih memilih menyelesaikan masalah melalui dialog dan musyawarah demi menjaga martabat bersama.
Tantangan dalam Implementasi dan Upaya untuk Mengatasinya
Meskipun nilai-nilai budaya Minangkabau sangat mendukung penerapan Permen No. 55 Tahun 2024, ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam implementasi kebijakan ini di perguruan tinggi. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya pemahaman atau kesadaran di kalangan mahasiswa dan dosen mengenai pentingnya kebijakan dan perilaku dalam aktifitas akademis di lingkungan kampus tanpa kekerasan. Oleh karena itu, diperlukan upaya sosialisasi yang lebih intensif mengenai kebijakan ini.
Selain itu, budaya kekerasan yang mungkin ada di beberapa perguruan tinggi juga menjadi tantangan besar dalam mengubah sikap dan perilaku individu. Untuk itu, perguruan tinggi perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh adat, untuk memperkuat budaya kedamaian dan mengurangi kekerasan.
Kesimpulan
Minangkabau, dengan kearifan lokal yang sangat menekankan perdamaian, musyawarah, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, memiliki potensi besar untuk berperan dalam penerapan Permen No. 55 Tahun 2024 di perguruan tinggi di Sumatera Barat. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya Minangkabau ke dalam sistem pendidikan tinggi – baik dalam tata kelola kampus, proses pembelajaran, maupun pembinaan karakter mahasiswa – kampus-kampus di Sumatera Barat dapat menjadi pelopor terciptanya lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan, inklusif, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Nilai-nilai seperti musyawarah untuk mufakat, semangat gotong royong, serta penghormatan terhadap perempuan dan hak individu yang telah lama menjadi bagian dari adat Minangkabau, selaras dengan semangat Permen No. 55 Tahun 2024 yang mengedepankan pencegahan kekerasan, perlindungan korban, dan penyelesaian masalah melalui pendekatan yang adil dan manusiawi.
Meski demikian, untuk mewujudkan hal tersebut secara optimal, dibutuhkan komitmen bersama dari seluruh elemen kampus – mulai dari pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa hingga mitra perguruan tinggi. Selain itu, penting juga adanya dukungan dari tokoh adat, pemuka masyarakat, serta pemerintah daerah agar sinergi antara regulasi nasional dan kearifan lokal dapat berjalan harmonis.
Dengan menjadikan nilai-nilai Minangkabau sebagai fondasi dalam membangun budaya kampus yang sehat dan aman, perguruan tinggi di Sumatera Barat tidak hanya akan sukses dalam menerapkan kebijakan anti kekerasan, tetapi juga mampu mencetak lulusan yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional, etis, dan sosial. Mereka akan menjadi generasi penerus yang mampu merawat perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di mana pun mereka berada. *)























