forumsumbar // HARI ini adalah puncak digelarnya Pesta Budaya Tabuik di Kota Pariaman. Sebenarnya pesta ini telah dimulai dari awal September lalu, atau sepuluh hari sebelumnya. Berbagai prosesi mengikuti acara ini sampai akhirnya senja hari nanti dilarung ke laut di Pantai Gandoriah. Acara ini sangat kolosal. Suasana magis dan religius sangat terasa.
Kata Tabuik aslinya berasal dari Bahasa Arab, Tabut, yang berarti peti atau kotak kayu. Dalam ensiklopedia Islam, Tabut pada mulanya berarti sebuah peti kayu yang dilapisi emas sebagai tempat penyimpanan manuskrip kitab-kitab yang ditulis di atas lempengan batu.
Masyarakat Minangkabau mengenal Tabuik sebagai pesta rakyat yang tiap tahun digelar di Kota Pariaman. Akan tetapi, Tabuik kali ini tidak lagi sebuah peti kayu yang dilapisi emas, namun yang diarak oleh warga Pariaman adalah sebuah replika menara tinggi yang terbuat dari kayu dan bambu dengan bermacam-macam hiasan. Puncak menara adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar dan bukan hanya di puncak, di beberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang berjuntai.
Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik terkembang dua buah sayap. Di antara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula ornamen ekor dan sebuah kepala manusia, seperti wajah wanita lengkap dengan kerudung. Kayu-kayu besar menjadi pondasi sekaligus tempat pegangan untuk mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat. Butuh banyak orang untuk mengangkat dan menghoyaknya.
Selain sebuah prosesi ritual, saat ini Tabuik merupakan sebuah pesta rakyat di Kota Pariaman. Oleh sebab itu, prosesi ini melibatkan semua lapisan masyarakat Pariaman. Terlihat ada dua Tabuik yang diusung ; Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Masing-masing kelompok Tabuik, terdiri dari beberapa desa, dan mereka saling bahu membahu untuk membuat Tabuik dan mengaraknya.
Menurut beberapa sumber, Tabuik masuk ke Pariaman tahun 1831 M, dibawa oleh pasukan Tamil Muslim dari India. Prosesinya adalah bentuk kegiatan mengenang kejadian di Hari Asyura atau 10 Muharram, khususnya mengenang cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein, yang tewas di Perang Karbala.
Sumber lain mengatakan bahwa Tabuik adalah kebudayaan yang berkembang dari kebudayaan provinsi tetangga, Bengkulu. Di Bengkulu ada juga tradisi yang serupa dengan Tabuik Pariaman, yang dikenal dengan sebutan Tabot. Tidak banyak perbedaan antara Tabuik dan Tabot membuat kemungkinan itu ini ada. Apalagi diperkirakan usia prosesi Tabot Bengkulu lebih tua dari Tabuik Pariaman, dimana telah dimulai pada tahun 1685 M.
Bukan hanya di Bengkulu, prosesi Tabuik juga amat mirip dengan ritual 10 Muharram yang dilakukan masyarakat muslim di Iran. Seperti halnya ritual Tabuik sebagai pagelaran rekonstruksi ulang kejadian “pembantaian” Imam Husein dan pasukannya di Padang Karbala, maka di Iran ada pagelaran serupa yang diberi nama Ta’ziyeh.
Apapun itu, Tabuik sudah menjadi sebuah pesta budaya bagi masyarakat Kota Pariaman. Tiap tahun selalu diadakan dengan seluruh prosesi yang mengiringi, sebelum acara puncak melarung Tabuik ke laut. Bagi pariwisata Kota Pariaman, acara Tabuik sangat strategis dan menjadi magnet untuk datangnya para wisatawan ke Pariaman. “Pariaman tadanga langang, ba-Tabuik makonyo rami”, demikian sebuah syair lagu.
Tim forumsumbar.com
(Dari berbagai sumber)