
Oleh: Monica Milda Fitriani
(Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
KECANDUAN itu berawal dari kebiasaan masyarakat yang suka memakan sirih dan menghisap tembakau. Jauh sebelum abad ke 18 masyarakat sudah melakukan kebiasan memakan sirih dan menghisap tembakau.
Akibat dari kebiasaan itu masyarakat menganggap itu adalah hal yang istimewa. Sehingga kedua kebiasaan itu menjadi sebuah tradisi termasuk dalam upacara adat dan penyambutan tamu. Perubahan zaman yang terjadi membuat kebiasan itu hilang secara perlahan-perlahan.
Opium atau bisa disebut dengan mandat dan candu merupakan buah candu yang belum matang dan termasuk kebahan pembuatan narkotika. Tanaman ini bisa tumnuh pada daerah subtropis.
Menurut BNN (Badan Narkotika Nasional), opium memiliki kandungan morfin yang berefek samping langsung ke sistem saraf pusat guna menghilangkan rasa sakit.
Opium tersebar di Minangkabau pada abad ke 18 masehi sampai abad ke 19 masehi. Opium tersebar karena perdagangan di kawasan pantai bagian barat Sumatera Barat.
Pada awalnya masyarakat menganggap opium itu sebagai rempah-rempah biasa. Dan tidak memiliki dampak bagi masyarakat. Waktu terus berjalan penyebaran opium semakin merajalela pada saat itu.
Di dalam novel “Segala yang Dihisap Langit” karya Pinto Anugrah, opium tumbuh di daerah pedalaman Minangkabau, yaitu bandar Malaka.
Para petani yang ada di daerah pedalaman menanam dan memanen tumbuhan madat untuk dijual ke luar negeri seperti, negara India, Belanda, Jepang dan Tiongkok.
Salah satu tokoh dalam novel “Segala yang Dihisap Langit” bernama Tuanku Tan Amo yang merupakan tokoh pemimpin masyarakat daerah Batang Ka. Dia melakukan pembatasan tanaman opium ini karena dia melihat dampak sosial dan kesehatan masyarakat sudah mulai memburuk dan itu berjalan sangat cepat.
Di dalam perdagangan opium tentu saja ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positif adalah menambah perekonomian masyarakat, tetapi dampak yang paling berbahaya dan dapat merusak adalah dampak negatif menganggu kesehatan masyarakat dan kehidupan sosial.
Para tokoh Gerakan Padri menganggap penggunaan opium serta tradisi mengunyah sirih dan menghisap tembakau di Minangkabau adalah perbuatan yang buruk dan harus di berantas.
Pengaruh opium terhadap tradisi menghisap tembakau dan mengunyah sirih sebenarnya sudah ada jauh sebelum opium ada di dalam masyarakat Mingakabau. Itu dibuktikan dengan tradisi mengunyah sirih yang digunakan pada saat acara adat dan penyambutan tamu.
Menurut masyarakat Minangkabau tradisi mengunyah sirih adalah tradisi yang teristimewa tapi tidak dengan tokoh Gerakan Padri. Alasan tokoh-tokoh Gerakan Padri menganggap tradisi itu menjijikkan dan harus di musnahkan karena Gerakan Padri ingin menghilangkan kecanduan yang sudah merajalela di kalangan masyarakat.
Jika kecanduan itu tidak diberantas maka adanya kebiasaan yang baru dan itu berdampak sangat buruk terhadap kesehatan dan sosial masyarakat Minangkabau pada saat itu.
Masyarakat memakan sirih dengan dua tipe pertama tipe biasa saja yang diberi nama sekapur sirih atau bisa disebut siriah langkok dengan bahan dasar sirih, pinang dan kapur sirih.
Tipe kedua adalah sekapur siri yang berkelas bahan dasarnya sirih, pinang, kapur sirih dan ada bahan tambahan seperti cengkeh, jahe dan terakhir adalah opium.
Semua bahan tambahan ini dapat menambah cita rasa dan aroma saat mengunyahnya biasanya tipe sekapur sirih yang istimewa ini digunakan untuk tamu dari kaum bangsawan. Sirih digunakan juga sebagai pambukak kato saat ingin melakukan perundingan atau percakapan dengan tamu.
Tradisi memakan sirih muncul karena dilakukan setiap hari dan sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Opium digunakan sebagai bahan pelengkap, baik itu ditambahkan kepada siriah langkok dan tembakau. Tanpa disadari opium juga memiliki efek candu. Maka dari itu para tokoh Gerakan Padri mempunyai misi untuk memberantas kebiasaan mengunyah sirih dan tembakau.
Penyebaran opium ini tidak bisa dibiarkan begitu saja melihat kebiasaan masyarakat yang menghisab tembakau dan mengunyah sirih. Apalagi ditambah adanya bahan opium di kalangan masyarakat Minangkabau akan ada kebiasaan baru yaitu penggunaan opium dalam kegiatan keseharian di kalangan masyarakat Minangkabau. Jika itu terjadi maka bau candu akan terus menjadi sebuah tradisi.
Jika seseorang yang sudah terbiasa dalam mengunyah sirih tidak melakukan hal itu dalam sehari maka dia akan pusing dan gelisah. Ini merupakn efek samping di dalam tradisi ini berupa ketergantungan.
Di sisi lain seorang pendekar yang sedang dalam perperangan dia selalu membawa sirih sebagai obat utamanya. Karena sirih berfungsi sebagai obat penambah stamina, penghilang rasa sakit dan menghilakan sedikit rasa ketegangan.
Seiring perkembangan zaman, tradisi mengunyah dan menghisap tembakau sudah mulai hilang. Masyarakat zaman sekarang dalam menyambut tamu di rumahnya tidak lagi menggunakan sirih. Masyarakat dalam menyambut tamu itu biasanya menghidangkan makanan saja. Menghisab tembakau kini sudah berganti dengan merokok.
Masyarakat sekarang ini menggunakan sirih yang dihidangkan untuk menyambut tamu pada acara adat dan acara tertentu saja. Dan bukan menjadi kebiasaan dan kegiatan sehari-hari lagi. Tidak sama seperti dulu yang mana mengunyah sirih dan menghisap tembakau menjadi kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan. Tapi bau candu yang sudah berkembang dulunya tidak akan pernah hilang sampai kapan pun.
Tidak disangka pada abad ke 18 masehi sampai abad ke 19 masehi merupakan masa-masa yang kelam bagi masyarakat Minangkabau kecanduan yang sangat cepat menyebar dan susah untuk diberantas. Meskipun opium merupakan salah satu tanaman obat yang dapat menghilangkan rasa sakit dan mengurangi ketegangan. Jika dipakai dan digunakan tidak dengan takarannya itu akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat.
Maka dari itu opium merupakan obat yang sangat dilarang keras oleh pemerintah demi menjaga kesehatan dan mengatasi dan memberantas kecanduan di Minangkabau.
Di balik semua itu terdapat kandungan khasiat menggunyah sirih. Pertama, gigi menjadi lebih kuat meskipun umur semakin tua tapi gigi terap lengkap. Jika tidak ada sirih biasanya nenek moyang dulu menggunakan sugih di giginya. Kedua tradisi itu tidak ada salahnya yang salah itu adalah penggunaan bahan tambahannya. *)