
“Laut dan Kehilangan”: Kumpulan Puisi Pilihan (PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena, Kreator Era AI)
/1/
Laut dan Kehilangan
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Laut berbicara pelan,
mengalirkan cerita lama melalui ombak yang lembut.
Laut adalah laut,
tetapi kita sering menyebutnya rumah — sebuah tempat yang penuh harapan,
namun juga berisi kesunyian yang tak terucapkan.
Di dalamnya, mimpi-mimpi tenggelam dengan tenang,
seperti tubuh yang mencari kedamaian di dalam kedalaman,
sementara harapan tetap mengapung,
seperti bintang yang menunggu untuk dipahami.
Kita bertahan—
meski mengetahui,
tak ada pantai yang dapat memberikan kepastian
selain ombak yang selalu kembali.
Kehilangan adalah laut yang lebih luas,
lebih dalam dari yang kita pahami.
Namun, kita tetap bertahan—
karena laut ini, dengan segala kedalamannya,
lebih mengenal kita daripada dunia yang kita tinggali.
Kita hanyalah butir-butir pasir yang terbuang,
terbenam dalam waktu,
tetapi masih terus berusaha untuk mencari arah.
Warnambool, Victoria
Australia, 2012
/2/
Ada Apa Laut Indonesia?
Oleh: Muliaty Mastura Yusuf
(Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat: PPIPM-Indonesia, IPMI Sulsel, Satu Pena, Kreator Era AI)
Kutanya diriku,
tentang laut Indonesia
Apakah laut bisa dipagar untuk kepentingan pribadi dan golongan?
Bukankah laut sebagai sumber daya alam dimanfaatkan semata kepentingan publik?
Ada apa laut Indonesia?
Gemuruh bagai gunung memuntahkan lahar panas
Seratus hari pemerintahan Prabowo,
masih ribut soal laut yang dipagar,
laut yang punya sertifikat
Oh….mana mungkin bisa terjadi di negeri yang dikelilingi laut tiga juta kilometer bujursangkar ini?
Kutanya diriku,
Laut Indonesiaku terbentang luas dari Sabang sampai Merauke,
Adakah pihak-pihak nakal mengambil kekayaan laut Indonesiaku?
Adakah mereka bersekutu mengeruk kekayaan laut untuk membangun negara dalam negara?
Apakah ada dua matahari mengolah laut Ibu Pertiwiku?
Kutanya diriku,
sebagai rakyat kecil dan miskin tak punya kuasa,
apakah negara hadir melindungi biota laut dari cengkeraman asing dan aseng?
Ataukah lepas untuk alasan balas budi?
Atau barter pemenangan?
Kutanya diriku,
Indonesiaku sebagai negara kepulauan terbesar dunia,
Bagaimana negara hadir menjaga kuota laut terbentang luas itu?
Bagaimana negara mengelola laut untuk kepentingan bersama rakyat dan masa depan Indonesia emas?
Kutanya diriku,
Bilakah laut Indonesia menjadi milik orang tertentu demi membangun kerajaan singgasana?
Maka negara, hukumlah mereka yang selaras.
Somba Opu, Sulawesi Selatan
Jumat, 31 Januari 2025
————————–
Muliaty Mastura Yusufadalah penulis aktif berdomisili di Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan.
/3/
Laut dan Luka
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Di balik ombak yang menderu,
terhampar bumi yang terpenjara,
laut ini bukan hanya air,
tapi sejarah yang lupa menorehkan nama.
Ia datang tanpa tanya,
dan pergi tanpa jejak— seperti amnesia yang berusaha menghapus
semua yang pernah mengira bisa melawannya.
Kapal-kapal itu,
dengan layar penuh luka,
berlayar mencari pulau yang terlupakan,
padahal mereka hanya berputar
dalam lingkaran yang tak berujung.
O, laut, engkau adalah luka yang tidak dapat sembuh,
membawa kedamaian yang terkubur dalam debu.
Manusia datang dengan angan,
dengan senyum yang terlukis,
tapi engkau, oh laut, hanya tertawa—
seperti tangan tak tampak yang memeluk tanpa suara.
Apa yang kau janjikan?
Sebuah janji yang tenggelam dalam air mata yang sudah lama mati.
Warnambool, Victoria
Australia, 2012
/3/
Laut dan Kapal
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Adakah yang lebih tinggi dari angin yang membimbing layar?
Adakah yang lebih besar dari laut yang tak tahu bersalah?
Kapal itu bergerak,
tapi tidak menuju ke mana-mana.
Ia adalah simbol dari kelamnya waktu yang terus mengunyah.
Ombak itu adalah wajah yang tidak bisa dikenali,
kelokan angin adalah tangisan yang terbungkam,
dan aku,
aku yang di atas kapal ini,
adalah bayangan yang berjalan dalam jejak tanpa kaki.
Mereka menyebut ini perjalanan,
tapi aku tahu, ini adalah pembuangan—dibuang oleh peradaban yang terbuai
oleh kemegahan laut,
yang tak mengenal belas kasihan.
Lihatlah kapal itu,
dengan tambang yang rusak,
dengan layar yang robek—
seperti hidup yang retak tanpa menyadari dirinya.
Warnambool, Victoria Australia, 2012
/4/
Laut Yang Berbicara Dengan Tatapan
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Laut ini tidak berbicara dengan kata-kata,
tapi dengan tatapan yang menusuk sampai ke tulang.
Ia adalah sebuah rahasia besar yang tersembunyi di dalam rindu,
di antara pasir dan karang yang menolak untuk dikenang.
Angin menuntun butir pasir ke titik tak berujung,
menghapus garis yang ditinggalkan kaki,
menyusun kenangan sebagai pasir yang terus mengalir—
perpaduan antara waktu dan ketidakpastian.
Siapa yang akan tahu bahwa kita hanya bagian dari mereka?
Bagian dari laut yang terus bergerak tanpa memberi kesempatan.
Di dalam laut,
ada kata-kata yang terlupakan,
dan di dalam diamnya,
ia menceritakan semua yang tak pernah terucap.
Ia menyimpan segala rindu yang tak terpenuhi,
tapi mengapa kita,
dengan angkuhnya, menyangka
kita bisa memegangnya?
Warnambool, Victoria
Australia, 2012
/5/
Ketika Tiada Lagi Kuasa
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Laut mengangkat kedua tangannya,
dan gelombang itu berbicara seperti raja yang terlupakan.
Ia mengisyaratkan untuk mendekat,
tapi di balik senyum, ada jurang yang menunggu.
Perlahan, ia menelan yang datang—
tak satu pun yang mampu lolos dari keheningan ini.
Oh, kapal, engkau mengira kau seorang pemimpin!
Berlayar dengan kebesaranmu,
tapi lihat,
di dalam jantung laut,
semua adalah bayangan yang menyatu dalam kegelapan.
Laut bukanlah penakluk,
ia adalah sang penghapus,
menghapus yang datang dan pergi tanpa ampun,
seperti jejak yang hilang di tanah yang dipenuhi air.
Di balik keangkuhan itu,
kita hanya bagian dari pusaran yang tak bisa dikendalikan.
Warnambool, Victoria
Australia, 2012
/6/
Laut Terbatuk
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Laut terbatuk, menghembuskan napas pertama
di pagi yang mendua,
seolah senja yang terlambat.
Pagar bambu tumbuh perlahan,
seperti racun yang tersembunyi,
akar-akar angka meremas gelombang dengan bisu,
mulutnya terkunci segel, membawa nama kepemilikan.
Nelayan berdiri di bibir dermaga yang sunyi,
pasir menjadi tuli,
terlelap dalam keheningan.
Ikan-ikan, yang dulu melompat bebas,
kini mengintip
melalui jeruji karang yang sepi,
seperti dokumen yang tak pernah diajukan.
Dengarlah keluh angin,
dulu angin terbang di antara awan dan bintang,
sekarang terhimpit garis-garis batas
yang tak pernah digariskan oleh langit.
Lihatlah
laut terbatuk lagi,
lalu menggigil dalam hening yang kelam,
seolah menelan pagar bambu sebelum ia berubah jadi beton,
meremukkan pagar dengan gemuruh purba,
mengajarkan kita bahwa laut bukan milik siapa pun,
bukan halaman belakang yang bisa dibatasi sesuka hati.
Dan suatu ketika,
saat gelombang kembali belajar meronta,
kau akan tahu,
bahwa yang terkurung bukan hanya laut,
tapi juga akal yang perlahan tenggelam,
seperti kapal yang menghilang tanpa bekas.
Padang, Sumbar, 2025
/7/
Ketika Kapalmu Tenggelam, Tapi Bukan Kamu
Oleh: Leni Marlina
(PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA)
Kapal kita tenggelam,
tapi kita tidak pernah belajar.
Apakah ada gunanya menyelamatkan diri ketika semuanya sudah musnah?
Laut ini tidak memandang kita,
seolah hanya mencatat—
segala sesuatu yang berjodoh dengan airnya.
Pelarian kita sering terjebak,
dalam sebuah gerakan tanpa arah,
lari dari kesalahan yang tak pernah diperbaiki.
Kita bilang ingin menyelamatkan diri,
tapi laut hanya menjawab,
“Kalian sudah terlalu lama berlari, dan sekarang sudah terlambat.”
Kita yang datang,
dengan harapan kosong,
menyapa gelombang dengan tangan terbuka—
tapi ombak hanya menghapuskan wajah kita,
seperti mimpi yang terlalu keras untuk dipegang.
Tenggelam? Tidak.
Hanya menjadi bagian dari laut—
tetes airnya adalah sisa dari takdir yang tak pernah memilih.
Warnambool, Victoria
Australia, 2012
———————
Kumpulan puisi di atas (No.1, 3, 4, 5, & 7) awalnya ditulis secara bilingual (Inggris-Indonesia) oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2012, saat penulis menjalani masa pertengahan program Master of Writing and Literature (Literary Studies, Creative Writing & Children’s Literature) di Australia, dengan beasiswa pemerintah Indonesia. Puisi tersebut direvisi kembali serta mulai dipublikasikan secara bertahap untuk pertama kalinya melalui media digital tahun 2025. Hanya puisi No. yang ditulis secara bilingual tahun 2025 dan dipublikasikan pada tahun yang sama.
Leni sampai saat ini merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat sejak berdiri tahun 2022; Komunitas Kreator Indonesia Era AI. Selain itu, ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair dan Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta mulai tahun 2024 dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Leni pernah terlibat dalam Victoria’s Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Leni juga mendirikan dan memimpin komunitas digital / kegiatan lainnya yang berfokus pada bahasa, sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:
1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community
3. PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat), the Poetry Community of Indonesian Society’s Inspirations: https://shorturl.at/2eTSB; https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community
6. Literature Talk Community
7. Translation Practice Community
8. English Languange Learning, Literacy, Literary Community (EL4C)