
Oleh: Irdam Imran
(Pengamat Sosial dan Politik)
GELOMBANG rakyat yang kembali menggema di depan Gedung DPR/MPR pada 5 September 2025 dengan membawa 17+8 Tuntutan Rakyat adalah peringatan sejarah. Di balik angka itu tersimpan pesan sederhana: rakyat sudah terlalu lama dikecewakan, dan kini waktunya bangsa ini kembali pulang ke rumah besar konstitusi.
Dari 17 tuntutan jangka pendek, rakyat menyoroti hal-hal mendasar yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari:
1. Ekonomi dan kesejahteraan.
Harga bahan pokok yang kian melambung, pengangguran yang terus menganga, serta ketergantungan pada impor pangan membuat rakyat menuntut kedaulatan ekonomi yang nyata.
2. Pendidikan dan kesehatan.
Akses pendidikan yang merata dan layanan kesehatan yang manusiawi, bukan sekadar jargon politik, menjadi kewajiban negara.
3. Pemberantasan korupsi.
Rakyat menolak pelemahan KPK dan segala bentuk kompromi hukum yang melindungi koruptor.
4. Lapangan kerja dan perlindungan buruh.
Negara dituntut membuka lapangan kerja seluas-luasnya, termasuk mendorong kesempatan kerja di luar negeri dengan perlindungan penuh terhadap pekerja migran.
Sedangkan 8 agenda jangka panjang yang rakyat sebut sebagai reformasi nasional menyasar perubahan mendasar pada tata kelola negara:
1. Amandemen UUD 1945 yang demokratis.
Membuka ruang bagi capres independen, memperkuat DPD, dan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan tanggung jawab presiden kepadanya.
2. Penguatan supremasi hukum.
Reformasi kepolisian, kejaksaan, dan peradilan agar benar-benar independen dari intervensi politik dan oligarki.
3. Reformasi partai politik.
Partai harus kembali menjadi wadah kaderisasi, bukan sekadar mesin kekuasaan yang melahirkan dinasti dan oligarki.
4. Efisiensi birokrasi dan kabinet ramping.
Kabinet harus disusun berdasarkan kompetensi, bukan transaksi politik.
5. Reformasi sistem ekonomi.
Memberdayakan UMKM, koperasi, dan ekonomi kreatif agar tidak kalah oleh monopoli korporasi besar.
6. Kedaulatan energi dan sumber daya alam.
Hasil bumi harus untuk rakyat, bukan untuk segelintir pengusaha dan asing.
7. Reformasi agraria.
Redistribusi tanah yang adil dan penguatan pertanian rakyat sebagai tulang punggung kedaulatan pangan.
8. Rekonsiliasi nasional.
Menghentikan politik balas dendam, menghapus politik kriminalisasi, dan membangun persatuan bangsa di atas keadilan.
Jika seluruh tuntutan ini dibaca secara jernih, sesungguhnya rakyat tidak sedang melawan negara, melainkan menyelamatkan negara dari penyimpangan jalan konstitusi.
Kita diingatkan kembali bahwa supremasi konstitusi adalah fondasi bernegara. Tanpa itu, DPR hanya akan menjadi stempel, pemerintah menjadi penguasa absolut, dan rakyat kembali menjadi penonton.
Kini, bola ada di tangan DPR dan pemerintah: apakah mau mendengar suara rakyat atau tetap mengabaikan hingga gelombang sejarah menelan mereka? *)
Penulis: Mantan Birokrat Parlemen Senayan, dan Kader Partai Ummat. Kini Tinggal di Depok, Jawa Barat