
Oleh:: Irdam Imran
(Pengamat Politik Internasional, tinggal di Kamang Mudik, Agam, Sumatera Barat)
SUASANA jalanan di Teheran, Isfahan, dan Mashhad berubah menjadi lautan manusia. Bukan karena demonstrasi, bukan pula karena kemarahan. Justru karena harapan. Rakyat Iran turun ke jalan merayakan gencatan senjata—momen langka di tengah ketegangan geopolitik yang selama ini menjerat Republik Islam itu dalam bayang-bayang perang.
Di tengah perayaan itu, kita seperti mendengar gema sejarah: suara-suara yang pernah bergema pada 1979, saat rakyat menggulingkan monarki Shah Reza Pahlevi dan mendeklarasikan Revolusi Islam.
Tapi kali ini, mereka tidak menuntut revolusi baru. Mereka menuntut agar semangat revolusi yang lama dikembalikan ke pangkuan rakyat—bukan hanya sebagai simbol ideologis, tapi sebagai janji kehidupan yang lebih damai dan bermartabat.
Revolusi 1979 bukan sekadar peristiwa politik. Ia adalah ekspresi kolektif atas penolakan terhadap tirani dan dominasi asing. Rakyat Iran ketika itu bersatu karena dua tuntutan fundamental: keadilan dan kedaulatan.
Hari ini, dua tuntutan itu kembali terdengar—dengan bentuk dan bahasa yang berbeda. Di tengah krisis ekonomi, isolasi internasional, dan ketegangan bersenjata dengan musuh-musuh regional, rakyat Iran menyuarakan keinginan yang sangat manusiawi: hidup tanpa ancaman bom dan blokade.
Perayaan atas gencatan senjata ini tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah sinyal keras, bahwa rakyat bukan lagi mau diseret menjadi bahan bakar politik konfrontatif yang tiada ujung. Setelah empat dekade lebih revolusi, rakyat ingin hasilnya benar-benar menyentuh keseharian mereka: makanan yang terjangkau, listrik yang stabil, kebebasan berpikir, dan masa depan anak-anak yang tidak terus dihantui perang.
Gencatan senjata ini bisa jadi menjadi jeda pendek. Tapi respons rakyat memberi sinyal yang dalam: mereka menginginkan damai sebagai bagian dari revolusi. Mungkin sudah saatnya kita membaca Revolusi Islam Iran 1979 bukan sebagai doktrin perlawanan abadi, tetapi sebagai tonggak awal untuk transisi ke negara yang berdaulat sekaligus sejahtera dan terbuka.
Tentu saja, tidak semua elite di Teheran akan senang dengan ekspresi rakyat ini. Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa suara rakyat tak bisa dibungkam selamanya. Sama seperti pada 1979, ketika massa berkumpul di jalanan menuntut perubahan, kali ini rakyat Iran sekali lagi menunjukkan arah: dari revolusi ke rekonsiliasi, dari simbolisme ideologis ke realisme rakyat.
Dan barangkali, di Kamang Mudik yang jauh dari Teheran ini, kita bisa belajar satu hal: bahwa dalam setiap revolusi, ujungnya bukanlah kekuasaan, tetapi kesejahteraan. Bahwa makna sejati dari “kemerdekaan dan keadilan” hanya lahir ketika rakyat bisa hidup dalam damai, tanpa takut dan tanpa lapar.
Jika elite Iran masih percaya bahwa mereka mewakili semangat revolusi, maka mereka harus mendengar suara jalanan hari ini. Karena bisa jadi, itulah bentuk paling murni dari revolusi itu sendiri—revolusi yang ingin berhenti berperang, dan mulai membangun. *)