
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan / Aktif di Koperasi Tembakau Nasional, Tangsel, Banten)
DALAM falsafah Minangkabau, kita mengenal pepatah: “Sakali aie gadang, sakalian tapian beranjak”. Peribahasa ini sarat makna: bila arus besar datang, maka tatanan pun ikut berubah.
Dalam konteks kepemimpinan, pepatah ini mengingatkan bahwa setiap pergantian pemimpin kerap diiringi perubahan drastis, termasuk dalam arah dan kebijakan publik.
Fenomena ini tampak nyata di Kota Bukittinggi. Proyek pusat kuliner Stasiun Lambuang yang diresmikan Menteri BUMN Erick Thohir pada Maret 2024, kini dikabarkan tutup hanya dalam setahun. Pusat kuliner yang dibangun dengan anggaran tak kurang dari Rp24,5 miliar itu, dalam tiga tahun hanya menyumbang Rp2,5 juta ke kas daerah. Sebuah ironi pembangunan.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Gagal perencanaan? Salah konsep? Atau ini semata bagian dari siklus politik: pemimpin berganti, maka kebijakan pendahulunya pun dihapus?
Krisis Keberlanjutan
Fenomena “tapian beranjak” dalam politik lokal kerap menimbulkan luka pembangunan. Proyek yang dibangun dengan dana rakyat sering kali tidak sempat menunjukkan hasil karena terburu-buru dihentikan saat pemerintahan berganti.
Padahal, pembangunan seharusnya berkelanjutan—siapa pun pemimpinnya.
Bukittinggi butuh kepemimpinan yang mampu menyambung benang merah kebijakan, bukan memutusnya karena beda warna atau kepentingan.
Kalau ini terus terjadi, maka setiap periode hanya akan menjadi arena ganti cat tembok, bukan menambah pondasi.
Jalan ke Depan
Sudah waktunya kita mendorong etik politik pembangunan. Etik ini menuntut agar: Kebijakan publik tidak diputus berdasarkan rivalitas politik semata.
Proyek besar dievaluasi dengan data dan keterlibatan publik. Aset daerah dikelola berkelanjutan, bukan berdasarkan selera periodik.
Rakyat berhak tahu ke mana anggaran digunakan dan kenapa sebuah proyek yang sudah dibangun ditutup begitu cepat.
Lebih dari itu, rakyat berhak melihat hasil pembangunan dinikmati lintas generasi, bukan sekadar jadi monumen gagal atau jejak konflik antar elit lokal.
Ranah Minang dikenal dengan kebijaksanaan adat dan integritas kepemimpinan. Jangan sampai warisan budaya kita ternoda oleh praktik politik yang miskin tanggung jawab. Kita butuh pemimpin yang merawat, bukan yang menggusur.
Karena di Minangkabau, pepatah bukan sekadar kata. Ia adalah arah dan cermin hidup. *)