
Oleh: Rizal Tanjung
(Seniman/Penyair)
DI kaki bukit Gunung Padang, ketika angin membawa harum bunga surau dan gema mamangan tua menggema dari sela-sela pohon andalas, sebuah panggung cahaya terbit—bukan dari langit, melainkan dari kata.
Di Convention Hall Universitas Andalas pada tanggal empat Juni dua ribu dua puluh lima, ruh-ruh puisi berdiri, bukan untuk bersuara, tetapi untuk membangkitkan jiwa.
Di sana, di tengah lautan kursi dan layar-layar raksasa, usia bukanlah beban melainkan mahkota—dan yang mengenakannya adalah Abang Makmur Hendrik, lelaki berusia tujuh puluh delapan tahun yang menulis dengan mata sejarah dan berdetak dengan jantung bangsa.
Acara ini digagas oleh Hamas, sayap tajam kesadaran budaya yang diterbangkan oleh tangan Isa Kurniawan.
Namun, malam itu bukan hanya milik satu orang. Ia adalah simfoni, tempat suara-suara bertemu dalam kepak kata yang luhur—Rizal Tanjung dengan nyala metaforanya, Andrea C Tamsin dengan lembut hujan puisinya, Fauzul el Nurca dengan denting renungan yang pilu, dan para master pembaca puisi lainnya yang seolah datang dari lembah mimpi dan kaki langit kesusastraan.
Mereka tak sekadar membaca puisi. Mereka memanggil roh zaman.

Menulis Adalah Ibadah Sunyi dari Leluhur
Dalam pidato yang bukan sekadar pidato, Makmur Hendrik berdiri di panggung seperti pohon tua yang daunnya adalah halaman-halaman novel.
Di usia senja yang mekar seperti beringin di tengah nagari, ia tak bicara tentang kejayaan masa lalu, tetapi tentang luka yang dijahit menjadi pelita.
Novel Tikam Samurai menjadi inti dari malam yang hangat itu. Sebuah kisah yang tak ditulis dengan tinta, tetapi dengan darah ingatan dan keringat para ibu yang tubuhnya diperkosa sejarah.
Dari Situjuah ke Ladang Laweh, dari malam gelap gulita penjajahan hingga cahaya yang patah-patah dalam merdeka yang tak seluruhnya utuh, Makmur mengubah dendam menjadi hikmah.
Ia tak menulis untuk membenci, melainkan untuk menyadarkan. Bahwa penjajahan tak lagi bersepatu lars—ia kini bersetelan jas, berkedok pasar bebas, dan berbisik lewat algoritma.
Ia bertanya pada kita semua: di manakah harga diri bangsa disembunyikan ketika kita lebih mencintai merek daripada martabat?

Kata sebagai Tanah, Kalimat sebagai Tali Rumah
Di tengah dunia yang digerogoti banalitas dan kekosongan makna, menulis dari Minangkabau ibarat menimba air dari sumur adat yang tak pernah kering. Sastra di tanah ini bukan hiburan; ia adalah tunas dari batang nilai. Mamangan, kaba, syair, dan pantun, semua mengandung benih kebijaksanaan.
Maka menulis novel, kata Makmur, adalah memahat rumah dari bahasa dan mendirikan tiang dari filsafat adat: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Dalam Tikam Samurai, ia tak sekadar menyusun plot, tetapi menanam kebun makna. Para tokohnya tidak hanya berkonflik dengan pedang musuh, tetapi juga dengan luka batin yang diwariskan generasi demi generasi.
Novel ini adalah pertapaan dalam kata, di mana setiap adegan adalah doa yang mencari arah, setiap dialog adalah jeritan nurani yang enggan menjadi sunyi.

Para Pembaca Puisi: Api di Tengah Embun
Malam itu, puisi-puisi pun berdiri. Mereka tidak dibacakan, tetapi dihidupkan. Suara Rizal Tanjung seperti embun yang jatuh di mata luka. Andrea C Tamsin membacakan bait-baitnya seperti membacakan surat cinta kepada waktu. Fauzul el Nurca mendeklamasikan kesunyian dan memberi tubuh pada kegelisahan. Dan yang lainnya—penyair-penyair yang tak menyebutkan nama tapi menyisakan gema—menjadi perpanjangan suara rakyat yang tak terucap.
Di panggung itu, kata adalah cahaya. Mereka tak hanya membacakan puisi. Mereka mengangkat tulang-belulang sejarah yang tersembunyi di balik televisi, iklan, dan glamor palsu. Mereka membangunkan Sumatera Barat dari tidur panjangnya, membisikkan bahwa perlawanan paling halus adalah lewat sajak, dan bahwa cinta pada bangsa tak harus berteriak—cukup ditulis dengan jujur, dan dibacakan dengan hati yang basah.

Sastra, Jalan Sunyi Menuju Rumah Bernama Bangsa
Dalam dunia yang makin kehilangan cermin, Makmur Hendrik mengajarkan bahwa novel bukan untuk menjual cerita, melainkan untuk membangun cermin. Sastra bukanlah pasar, ia adalah perapian tempat api kesadaran terus dijaga. Novel seperti Tikam Samurai bukan hanya kisah, ia adalah obor. Ia mengajak bangsa ini kembali pulang: kepada sejarahnya, kepada nilainya, dan kepada keindahan yang nyaris punah dalam kedangkalan zaman.
Ia menulis bukan karena ingin dikenang, tetapi karena ingin mengingatkan.
Malam itu, di Convention Hall Universitas Andalas, sastra berubah menjadi sembahyang, puisi menjadi pelita, dan usia 78 menjadi angka sakral dari seorang guru bangsa yang tak pernah lelah menyulam kata untuk menjahit luka kolektif.

Menulis untuk Tidak Mati
Abang Makmur tidak menulis untuk dikenang, tetapi agar bangsa ini tidak mudah lupa. Ia tidak berbicara dengan nada tinggi, tetapi dengan nada rendah yang menghujam.
Ia menulis dengan keteguhan seorang lelaki yang mencintai tanah air seperti mencintai ibunya yang renta: dengan kelembutan yang tak bisa dipamerkan, hanya bisa dirasakan.
Malam itu bukan pesta. Ia adalah upacara jiwa. Di sana, di tengah kata-kata dan suara-suara, lahir kembali harapan. Bahwa selama masih ada yang menulis dengan cinta, membaca dengan pedih, dan mendeklamasikan dengan marwah, bangsa ini belum kalah.
Bahwa selama ada Makmur Hendrik, Rizal Tanjung, Andrea C Tamsin, Fauzul el Nurca, dan para penyair lainnya, kita masih punya jalan pulang.
Pulang ke akar. Pulang ke cahaya. Pulang ke kata.
Dan pada akhirnya, ke rumah yang bernama: Indonesia.
Padang, Sumatera Barat, 2025
