
Oleh: Muhammad Najmi
KEBIJAKAN pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan yang bertujuan meningkatkan kualitas dan akses yang berkeadilan. Salah satu perubahan terbaru adalah transformasi dari PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) menjadi SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru). Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan ada pembaruan dalam sistem penerimaan yang mencakup empat jalur: jalur domisili (zonasi), jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur mutasi.
Perubahan ini diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah yang kerap muncul dalam sistem PPDB sebelumnya, terutama polemik seputar zonasi. Jalur domisili, misalnya, sering memunculkan kekhawatiran tentang ketidakadilan bagi siswa berprestasi yang berada di luar zonasi sekolah unggulan. Dengan SPMB, jalur prestasi diharapkan menjadi solusi untuk memberi kesempatan lebih luas bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik maupun non-akademik.
Namun, di balik harapan tersebut, muncul pertanyaan kritis: Apakah SPMB benar-benar menjawab tantangan atau justru memperpanjang polemik? Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan akses di daerah terpencil. Meskipun jalur afirmasi tersedia bagi siswa dari keluarga ekonomi lemah atau penyandang disabilitas, tidak semua daerah memiliki sarana dan prasarana yang setara. Akibatnya, siswa dari wilayah tertinggal tetap menghadapi hambatan sistemik untuk bersaing secara adil.
Selain itu, jalur mutasi dalam SPMB memunculkan kekhawatiran tentang potensi manipulasi data atau penyalahgunaan wewenang. Pada praktiknya, jalur ini bisa dimanfaatkan untuk memindahkan siswa ke sekolah favorit tanpa melalui kompetisi yang seharusnya. Jika pengawasan tidak diperketat, prinsip transparansi dan keadilan dalam sistem penerimaan bisa terancam.
Di sisi lain, SPMB memiliki beberapa keunggulan yang patut diapresiasi. Dengan memperluas jalur penerimaan, SPMB memberikan ruang bagi siswa yang memiliki potensi di berbagai bidang, tidak hanya akademik. Jalur prestasi, misalnya, membuka kesempatan bagi siswa yang unggul di bidang olahraga, seni, teknologi, dan inovasi. Ini sejalan dengan prinsip _merdeka belajar_ yang menekankan bahwa setiap anak memiliki bakat unik yang layak dihargai dan difasilitasi.
Selain itu, jalur afirmasi dalam SPMB menjadi upaya konkret untuk mengurangi kesenjangan sosial. Dengan alokasi khusus bagi siswa dari keluarga tidak mampu atau berkebutuhan khusus, kebijakan ini dapat menjadi alat pemerataan akses pendidikan. Jika diterapkan dengan pengawasan ketat dan evaluasi rutin, jalur afirmasi bisa menjadi jembatan yang membantu kelompok rentan mengakses pendidikan berkualitas yang sebelumnya sulit dijangkau.
Aspek lain yang perlu dikritisi adalah kesiapan infrastruktur di daerah. Implementasi SPMB memerlukan sistem teknologi informasi yang andal agar pendaftaran dan seleksi berjalan lancar. Sayangnya, di banyak daerah pelosok, akses internet masih menjadi kendala besar. Jika sistem tidak dirancang secara inklusif, maka siswa di wilayah ini bisa tertinggal dan tidak memiliki kesempatan yang setara.
Kebijakan pendidikan semestinya memprioritaskan keadilan substantif, bukan hanya prosedural. Artinya, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap siswa memiliki peluang yang sama, terlepas dari latar belakang sosial dan geografisnya. Tanpa evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, SPMB berisiko menjadi kebijakan yang hanya mengubah istilah tanpa menyelesaikan akar masalah.
Di sisi lain, keberhasilan SPMB sangat bergantung pada komitmen pemerintah dalam mengedepankan prinsip keadilan. Transparansi dalam proses seleksi harus dijaga ketat, sementara evaluasi berkala perlu dilakukan untuk memastikan kebijakan ini berjalan sesuai tujuan awal: menciptakan akses pendidikan yang merata dan berkualitas.
Komitmen pemerintah dalam menjaga integritas dan transparansi SPMB harus diiringi dengan kebijakan yang berpihak pada pemerataan akses di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah wajib menjamin bahwa setiap jalur yang dibuka benar-benar memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa, tanpa diskriminasi. Selain itu, pemantauan yang konsisten dan kebijakan berbasis data perlu menjadi pijakan agar SPMB tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menjadi instrumen keadilan pendidikan.
Di sisi lain, peran publik tidak kalah penting dalam mengawal kebijakan ini. Masyarakat, termasuk organisasi pendidikan, orang tua, dan media, harus aktif terlibat dalam mengawasi implementasi SPMB di lapangan. Kritik yang konstruktif, pelaporan penyimpangan, serta dialog yang terbuka menjadi kunci agar kebijakan ini berjalan sesuai harapan. Sebab, tanpa keterlibatan publik, kebijakan sebaik apa pun berpotensi kehilangan arah dan esensinya.
Akhirnya, publik harus terus mengawal kebijakan ini. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, dan sistem penerimaan siswa harus mencerminkan semangat tersebut. Jika SPMB tidak diimplementasikan dengan cermat dan adil, maka yang terjadi bukanlah solusi, melainkan babak baru dari polemik yang tak berkesudahan. *)
Penulis: Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat