
Oleh: Fauziah Nur Hikmah
MASYARAKAT Minangkabau jika berbicara sarat akan makna. Mereka tidak mengutarakannya secara langsung, namun mereka memakai kata-kata kiasan.
Kiasan yang dipakai pada pepatah-petitih Minang bertujuan agar saat kita berbicara tidak ada orang yang tersinggung dengan pembicaraan kita, karena masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi sopan-santun dalam hal apapun, baik secara lisan maupun perbuatannya.
Kata-kata yang terdapat dalam pepatah-petitih Minang biasanya berupa nasehat ataupun sindiran. Pepatah nasehat ditujukan kepada orang yang lebih muda daripada kita dan, pepatah sindiran biasanya diberikan kepada orang yang sama besar maupun kepada pemimpin, yang bertujuan untuk mengatakan kepada mereka bahwa prilaku mereka tersebut adalah hal yang salah.
Selain pepatah nasehat dan sindiran ada juga pepatah sumpah bagi seorang datuak dalam memimpin kaumnya. Pepatahnya berbunyi; ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di tangah-tangah digiriak kumbang.
Arti dari pepatah ini ialah, di bagian atas tidak berpucuk, dan bagian ke bawah tidak berurat, serta di tengah-tengahnya dimakan oleh kumbang.
Pepatah ini diibaratkan sebuah tumbuhan, yang dimana tumbuhan yang subur itu ialah tumbuhan yang memiliki pucuk atau tunas yang tumbuh segar dan daunnya yang hijau, memiliki akar yang kuat dan kokoh agar dapat menopang semua bagian pohon dan dapat menyalurkan semua nutrisi dari tanah ke bagian tumbuhan lainnya dan juga pada bagian batang pohon memiliki batang yang sehat tidak dimakan oleh kumbang.
Namun pada pepatah ini diibaratkan sebuah pohon yang tidak memiliki pucuk, tidak berakar dan juga batang pohonnya yang dimakan kumbang, yang artinya pohon tersebut tidak akan tumbuh besar.
Makna kalimat ka ateh indak bapucuak, pada dasarnya yaitu hidup orang yang terkena sumpah ini akan menjadi sakit-sakitan.
Makna kalimat ka bawah indak baurek, yaitu meski sudah jatuh sakit, namun tidak kunjung mati.
Dan makna kalimat di tangah-tangah digiriak kumbang, ialah seluruh badan di jangkit penyakit yang tidak ada obatnya dan apabila mati tanpa dapat maaf dari anak dan keponakannya yang dipastikan masuk neraka.
Pepatah ini pada umumnya ditujukan kepada seorang pemimpin dalam adat Minangkabau yang biasanya disebut juga dengan datuak.
Seorang datuak di Minang dituntut untuk menjadi orang yang bijaksana dalam mengambil keputusan dan selalu berlandaskan kepada ajaran-ajaran Al- Quran, karena masyarakat Minangkabau selalu berlandasan kepada Al- Quran sesuai dengan filosofi hidup masyarakat Minangkabau, yakni; “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Agar dapat memimpin kaumnya suatu nanti, datuak yang menerima gelar pusako dipinta agar dapat menjalankan amanahnya dan mampu menjalankan fungsinya sebagai pemimpin untuk kaumnya, serta mampu membangkik batang tarandam.
Namun dibalik itu jika seorang datuak yang sudah diamanahkan tugasnya sebagai pemimpin kaum, tidak menjalankan tugasnya dengan sebagaimana mestinya, maka pada sumpah yang telah di ucapkannya akan berlaku pada hidupnya.
Dimana jika datuak tersebut melanggar janjinya maka hidupnya akan seperti sebuah pohon yang tidak tahu tujuan hidupnya, hidupnya menjadi serba salah, gelisah dan tidak tenang.
Pepatah ini bukan hanya sumpah terhadap seorang datuak, namun juga diucapkan untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak tahu siapa yang bersalah atau tidak tahu siapa yang tidak berucap jujur pada suatu masalah tersebut.
Biasanya untuk menyelesaikan masalah tersebut diminta lah seorang itu untuk bersumpah jika dia melakukan apa yang tidak dia akui maka, hidupnya akan seperti sumpah yang diucapkanya tersebut.
Pada dasarnya dampak dari pada pepatah ini tidak main-main dan kita harus berhati-hati dalam melontarkannya. Dari pepatah ini kita juga diminta agar selalu bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dipercayai terhadap kita, apalagi bagi seorang pemimpin yang dimana kaumnya memiliki harapan yang besar terhadapnya. *)
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Andalas (Unand)























