LIMAPULUH KOTA, forumsumbar — Selain keindahan alamnya, Koto Tinggi ternyata menyimpan sejarah yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa. Mungkin tak banyak tau, jika nagari ini pernah menjadi salah satu dari delapan tempat di Sumbar yang jadi ibu kota Republik Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Struktur geografis Koto Tinggi yang strategis diyakini mempengaruhi keputusan pemimpin kala itu dalam mengambil kebijakan mengenai ibu kota negara. Alasan tidak dijumpainya kantor pemerintahan di daerah ini, sebab kala itu tokoh-tokoh bergerak secara mobile, sehingga dimana berada, disitulah kantor terdapat
Ingin menggali lebih dalam mengenai sejarah PDRI, tim MMC Diskominfo Sumbar, Rabu (23/9), mewawancarai Metrial (43) juru kunci PDRI yang juga tokoh masyarakat setempat. Ditemani Walinagari Arman, Met, begitu beliau biasa disapa menuturkan awal mula terjadinya PDRI.
“PDRI terbentuk 22 Desember 1948 di Halaban Limapuluh Kota. Ini akibat agresi Belanda yang menawan Dwi Tunggal Soekarno Hatta. Mencegah terjadinya kevakuman pimpinan negara, Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Perekonomian yang saat itu sedang berada di Bukittinggi mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat dan terus menginformasikan kepada dunia akan eksistensi Indonesia,” ucap Met mengawali cerita.
Dia melanjutkan, saat mendapat kabar penyerangan di Yogya, Syafruddin bersama rombongan langsung meninggalkan Bukittinggi, setelah sebelumnya menghanguskan seluruh sarana prasarana yang ada, kecuali sebuah radio stesen yang nantinya jadi cikal bakal RRI Bukittinggi.
Dari Bukittinggi Syafruddin bergerak ke Halaban. Halaban dipilih karena menjadi posko AURI dimasa itu, sehingga mereka berpendapat keamanan cukup terjamin. Disanalah Menteri Syafruddin menunggu kedatangan tokoh lainnya yaitu Gubernur Militer Sumbar, Mr M. Rasjid.
“Jadi, sebenarnya PDRI itu embrionya dari Bukittinggi, lahir di Halaban dan besarnya bergerilya termasuk di Koto Tinggi,” ujarnya.
Setelah PDRI terbentuk, atas saran Tan Malaka, sebaiknya pemerintahan dijalankan di Koto Tinggi karena mempertimbangkan beberapa faktor seperti strategis, memiliki benteng yang kuat serta dekat dengan Riau dan Sumatera Utara. Makanya, sebagian pemimpin, pengungsi dan tak ketinggalan radio berpindah menuju Koto Tinggi.
Singkat cerita, dari Koto Tinggi lah banyak siaran radio mengudara menginformasikan keberadaan Indonesia. Hal tersebut membuat Belanda gerah dan melakukan penyerangan ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949 yang mengakibatkan gugurnya 9 pejuang Indonesia.
Atas dedikasi PDRI, pemerintah membangun Monumen Bela Negara yang terletak di Jorong Sungai Siriah sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara. Monumen tersebut berasal dari dana APBN yang melibatkan enam kementerian.
“Monumen telah siap 90 persen. Hanya akses jalan masih belum memadai menuju kesana. Saat ini baru Kementerian Pendidikan yang mengucurkan dananya. Kita berharap kementerian lain segera bertindak, agar proyek tidak mangkrak dan secepatnya dapat dimanfaatkan, terutama oleh pelajar,” harapnya.
Terakhir, Metrial menjelaskan perbedaan PDRI dengan PRRI agar masyarakat khususnya generasi muda tidak rancu.
“PDRI dan PRRI dua hal berbeda. Baik konteks maupun waktu. PDRI periode 1948-1949, sedangkan PRRI di tahun 1949-1950. PDRI merupakan penyelamat negara, sementara PRRI bentuk ketidakpuasaan atas pemerintah pusat. Semoga sejarah tidak diputarbalikan. Kasihan anak cucu nantinya, jika kejadian masa lalu dipelintir dari aslinya,” pungkas Metrial.
Dua hari terasa tak cukup menjelajahi Nagari Koto Tinggi. Masih banyak objek lainnya yang belum tereksplor. Seperti Air Terjun Lubuk Bulan, Goa Imam Bonjol dan kawasan Mangani yang konon katanya merupakan ladang emas, mangan dan bahan alam berharga lainnya.
Semoga di lain waktu, petualangan ke Koto Tinggi dapat terulang kembali, semoga!
(Rel/KominfoSB)