Oleh: Patria Subuh
(Pengamat Sosial)
KEPANDAIAN membaca adalah suatu keniscayaan. Membaca dapat dilakukan secara tersurat atau pun bahkan secara tersirat. Membaca yang tersurat lebih mudah daripada membaca yang tersirat. Membaca dan menulis yang diidentikkan dengan literasi, harinya diperingati setiap tanggal 8 September tiap tahunnya sebagai hari literasi internasional.
Kegemaran membaca yang sudah diasah sejak kecil dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara kritis dan menganalisis berbagai macam peristiwa.
Sebagai suatu kenyataan, membaca yang merupakan bagian dari kegiatan berpikir, membedakan manusia dengan hewan. Dengan berpikir manusia mampu memenuhi kemampuan dasarnya, bersosialisasi dan bekerja.
“Cogito ergo sum – aku berpikir, maka aku ada”. Demikian ungkapan yang diutarakan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), seorang filsuf Perancis yang terkenal dari abad pertengahan.
Orang dengan pikiran yang kuat bahkan ditengarai lebih mampu melawan penyakit dibandingkan orang dengan pikiran lemah. Kekuatan pikiranlah yang sukses membawa manusia ke bulan, bukan kekuatan fisik.
Pendaratan manusia pertama di bulan dengan Apollo 11 (20 Juli 1969) memerlukan penguasaan teknologi dan kemampuan berpikir yang luar biasa. Tak ada satu pun negara sebelum itu di dunia yang berhasil menjalankan misi luar angkasanya dengan sukses selain Amerika Serikat. Hal ini salah satunya disebabkan karena bangsa ini terbiasa punya hobi membaca.
Menurut hasil penelitian di bidang kedokteran, apabila otak sebagai pusat kontrol seseorang masih sehat dan kuat, sementara tubuh mengalami krisis darurat (emergency), ia masih bisa bertahan menopang kehidupan selama beberapa minggu. Kebalikannya yang terjadi, risiko yang timbul lebih besar kalau otaknya lemah.
Tingkat Melek Huruf sesungguhnya merupakan indikator dari terdidik (educated) atau tidaknya (not educated) seseorang dalam suatu negara.
Jika seseorang berasal dari kalangan terdidik, maka ia akan banyak membaca. Kebiasaan membaca sangat kuat hubungannya dengan tingkat melek huruf di suatu negara.
Banyak faktor penyebabnya kenapa di suatu negara tingkat melek hurufnya rendah. Situasi politik yang tidak kondusif, kemiskinan akut, tingkat kesadaran yang rendah, seperti yang terjadi di beberapa negara di Afrika ikut andil mengkondisikan negaranya memiliki tingkat melek huruf di bawah standar.
Pada umumnya negara berpendapatan tinggi seperti Kanada, tingkat melek hurufnya juga tinggi karena mereka membelanjakan banyak uang untuk urusan pendidikan warga negaranya. Warga negara memperoleh pendidikan secara murah dan gratis, serta negara menjamin pekerjaan warga negaranya apabila telah berhasil menyelesaikan sekolahnya.
Di bawah disajikan contoh tingkat melek huruf sepuluh negara yang tersebar mewakili Benua Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Australia berdasarkan data dari PBB Tahun 2005, sebagai berikut :
Grafik di atas adalah gambaran terhadap Tingkat Melek Huruf yang diambil sampelnya hanya dari negara tertentu saja (kode negara tidak baku) yang secara statistik belum tentu representatif, yaitu : Slovenia/Sl (99.7%), Ghana/Gh (54.1%), Turki/Tu (88.3%), Australia/Au (100%), Indonesia/In (95.9%), Burkina Faso/Bu (12.8%), Pakistan/Pa (48, 7%), Fiji/Fi (92.9%), Uzbekistan/Uz (99.3%) dan Kuba/Ku (95.5%).
Dari grafik terlihat bahwa negara dengan tingkat melek huruf tertinggi adalah Australia (100%) sedangkan terendah adalah Burkina Faso (12.8%) di Benua Afrika. Sementara Indonesia juga berada di level tertinggi bersama Slovenia, Uzbekistan dan Kuba di Amerika Latin.
Yang dimaksud dengan melek huruf disini adalah merek huruf Latin, bukan melek huruf Arab atau huruf China.
Harap dicatat bahwa Negara seperti Turki, Pakistan, Indonesia, dan Uzbekistan seperti pada grafik di atas, sebenarnya memiliki standar ganda dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘melek huruf’ atau kemampuan membaca aksara (literasi). Negara ini jelas memiliki satu jenis huruf lainnya yang sama pentingnya dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, yakni huruf Arab.
Penduduk di negara ini memiliki kemampuan tambahan untuk membaca aksara Latin (arah penjalaran ke kanan) dan aksara Arab (arah penjalaran ke kiri).
Sebagai ilustrasi, melek huruf di Rusia tidak sama dengan melek huruf di Yaman. Sehingga standar literasi masing-masing negara tidak bisa dipukul rata sama seperti standar yang diterapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations).
Orang Rusia bukannya kesulitan membaca kalau berada di Yaman, tetapi mereka sama sekali jadi buta huruf dan tak tahu apa-apa dengan huruf Arab yang ada di sana. Demikian juga sebaliknya kalau orang Yaman melanglang buana sampai ke Moskow, Rusia.
Warga negara Arab Saudi juga barangkali akan repot setibanya di Bandara Sukarno-Hatta karena seluruh papan pengumuman yang ada di sana menggunakan huruf latin sehingga mereka kesulitan karena tidak mengerti dengan apa yang ditulis.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa buta huruf (melek huruf) itu ternyata bersifat relatif. Beruntunglah negara yang penduduknya dapat membaca kedua jenis huruf tersebut, terutama kalau dipergunakan untuk berurusan. Angka melek huruf penerapannya tidak dapat digeneralisasi begitu saja pada seluruh negara yang ada di dunia.
Ada dua dampak utama yang bersifat positif apabila kita melek huruf, setidaknya dapat membaca huruf latin, yaitu dampak psikis dan dampak non psikis
1. Dampak psikis.
Sebagai manusia, tentu kita ingin dihargai dan tidak dipandang sebelah mata baik oleh kawan maupun lawan.
Manusia dihargai tidak hanya karena kesopanannya atau etika yang dimilikinya, tetapi juga karena kemampuan yang dimilikinya.
Dengan melek huruf, maka sebagian masyarakat akan rajin membaca, banyak hal yang dapat diperoleh, tidak hanya meningkatkan kemampuan dan membuka wawasan, tetapi juga sebagai alat untuk menghibur dan meningkatkan ilmu pengetahuan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang secara psikis dapat diperoleh dari kebiasaan membaca:
● Melatih daya konsentrasi / titik fokus
● Menambah ilmu dan pengetahuan
● Melatih otak untuk berpikir
● Meningkatkan kekuatan pikiran
● Meningkatkan daya kognitif/berbicara
● Melatih ketajaman berpikir
● Menormalkan pikiran yang sedang tertekan
● Meningkatkan koleksi kosakata.
Sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan waktu luang
● Mengurangi kepikunan akibat usia tua
● Melatih daya ingat jangka pendek.
Sebagai cara mengurangi stres/depresi
Sebagai sarana untuk berkontemplasi
2. Dampak Non Psikis.
Secara fisik atau non psikis otak adalah material lunak berwarna putih-abu abu yang terkurung di dalam rongga kepala dan terlindung oleh kulit dan rambut kepala.
Otak yang merupakan perangkat lunak “software” untuk berpikir tentu memerlukan perangkat keras “hardware” yang sehat dan kuat dalam menjalankan misinya.
Kebiasaan membaca yang intens dan kontinyu dilansir dapat menyehatkan otak secara fisik seperti :
● Mencegah kerusakan jaringan otak
● Melatih kelenturan syaraf-syaraf pikiran
● Meningkatkan kekuatan massa otak
● Meningkatkan sensitivitas jaringan otak
● Melatih sifat “aksi-reaksi” berpikir
Dari hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya tidak hanya menulis (sebagai output dalam berpikir) , namun durasi atau lamanya membaca (sebagai input dalam berpikir) dalam sehari-hari, juga dapat meningkatkan kesehatan pikiran. Dan juga berfungsi sebagai dua hal saling resiprokal dan saling menyeimbangkan.
Di samping itu, membaca juga dapat dianggap sebagai rekreasi yang menarik dalam ruangan. *)
(Dari berbagai sumber)