Oleh: Patria Subuh
(Pengamat Sosial)
SAAT itu – Lima belas tahun sebelum membacakan langsung teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, Bung Karno menyampaikan pleidoinya yang berjudul ‘Indonesia Menggugat’. Pleidoi itu dibacakan di depan pengadilan dengan tuduhan utama adalah hendak menggulingkan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sedang berkuasa. Bung Karno waktu itu sedang ditahan di penjara Banceuy.
Dalam salah satu materi pleidoinya yang terkenal itu, yang dibacakan tepat pada tanggal 18 Agustus 1930 di Bandung, Bung Karno memperingatkan bahwa, “Pada suatu saat yang tidak lama lagi, Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran oleh Jepang”.
Dalam bukunya, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, publikasi 2018, Cindy Adams menulis tentang pleidoi itu, sebagaimana dikutip oleh kompas.com, “Saya hanya mengatakan bahwa ini keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, maka pemerintah kolonial tidak akan sanggup menahannya”.
Dua belas tahun kemudian, setelah Bung Karno membacakan pleidoinya di depan pengadilan Hindia Belanda – Tepat pada tanggal 11 Januari 1942 Jepang melakukan pendaratan besar-besaran yang pertamanya di Tarakan, Kalimantan Timur. Tiga bulan setelah itu, pada tanggal 8 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat dengan menandatangani Perjanjian Kalijati di Subang, Jawa Barat yang menandai dimulainya secara resmi pendudukan oleh Jepang di Indonesia.
Pada perjanjian itu, Tentara Dai Nippon diwakili oleh Letnan Jendral Hitoshi Himamura (1886 – 1968) Panglima Tentara ke-16 (Dai-Jyuroku Gun) , sedangkan Pemerintah Belanda diwakili oleh Jendral Van Starkenborgh Stachouwer (1888-1978) sebagai Gubernur Jendral terakhir yang berkuasa di Hindia Belanda.
Setelah perjanjian ditandatangani, pulau – pulau besar di wilayah Hindia Belanda seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku praktis berada di bawah kontrol Tentara Dai Nippon, sampai akhirnya dikalahkan oleh Tentara Sekutu dalam Perang Pasifik pada Agustus 1945. Kekalahan Dai Nippon inilah yang dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk segera memproklamirkan kemerdekaannya.
Pada awalnya rakyat menyambut dengan antusias dan hangat kedatangan ‘Saudara Tua’nya (Hakko Ichiu). Dengan sukarela mereka bersedia bekerjasama dan terlibat dalam organisasi seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) , Gerakan Tiga A , Majelis Islam A’la Indonesia ( MIAI), Heiho, Peta, Seinendan, Giyugun, Jibakutai dan Tokubetsu Kaisatsu Tai.
Namun ternyata program pembentukan organisasi ini disamping berlatar belakang keinginan Jepang untuk menarik simpati dan dukungan rakyat pada Perang Asia Timur Raya (The Greater East Asia War) , juga sekaligus sebagai upaya untuk menghapus pengaruh Inggris, Amerika dan Belanda di wilayah jajahan secara bertahap.
Seperti dikutip dari e3s-conferences.org. Kemenangan Jepang di Indonesia diiringi dengan penyebaran slogan – slogan nasionalisme, Pan Asia, Asia untuk Asia dan penyebaran semangat untuk melemahkan pengaruh Barat. Semboyan 3 A, “Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia” diajarkan secara luas kepada murid-murid di sekolah.
Di lain pihak, pendirian organisasi BPUPKI oleh Jepang, memberi kesempatan kepada rakyat untuk segera mempersiapkan kemerdekaan yang diidam-idamkan. BPUPKI yang merupakan akronim dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia didirikan oleh seorang Letnan Jendral Jepang bernama Kumakichi Harada (1888-1947).
Dikutip dari Wikipedia, BPUPKI ini yang juga biasa disebut Dokuritsu Junbi Chosa-kai , merupakan sebuah badan yang dibentuk untuk upaya memerdekakan bangsa Indonesia. Pembentukannya dilakukan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun ke-44 Kaisar Jepang Hirohito (1901-1989) dari Dinasti Showa.
Badan ini beranggotakan 67 orang dan diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952) dengan Wakil Ketua Ichibangase Yoshio (1895-1964) dan Raden Panji Soeroso (1893-1981). Tugas badan ini adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek politik, ekonomi dan tata pemerintahan sebagai usaha untuk pembentukan Indonesia merdeka.
Seperti dikutip dari fahum.umsu.ac.id, pada tanggal 7 Agustus 1945, Sepuluh hari sebelum proklamasi kemerdekaan, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah selesai menyusun Rancangan Undang -Undang Dasar untuk menuju negara Indonesia merdeka. Badan ini diganti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai yang beranggotakan 21 orang dari berbagai latar belakang.
Setelah menyelesaikan perumusan dasar negara, penyusunan pembukaan dan batang tubuh undang-undang Dasar 1945, PPKI kemudian bertugas mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari Jepang kepada rakyat Indonesia.
Situs esi.kemdikbud.go.id menyebutkan bahwa peristiwa Rengasdengklok, Karawang pada tanggal 16 Agustus 1945 adalah bertujuan untuk mengamankan posisi Bung Karno dan Bung Hatta menyampaikan proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Walaupun Sebelumnya muncul friksi perbedaan pendapat antara golongan tua yang diwakili oleh Ahmad Subarjo (PPKI) dengan golongan muda yang diwakili oleh Wikana mengenai waktu penyelenggaraan proklamasi. Namun hal ini dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua belah pihak sepakat bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan paling lambat pada keesokan harinya. Naskah teks proklamasi kemudian disusun bersama-sama di rumah Laksamana Maeda Tadashi (1898-1977) seorang perwira tinggi Jepang dan berlangsung sampai dinihari menjelang hari kemerdekaan.
Akhirnya rangkaian usaha perjuangan yang penuh hambatan, rintangan dan pengorbanan itu sukses bermuara pada pembacaan proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta yang dilaksanakan pada bulan puasa, Pukul 10.00 pagi, tanggal 9 Ramadhan 1367 H, atau bertepatan dengan Hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 ( 2605, Tahun Showa).
(Catatan: Disusun dari Berbagai Sumber)