Oleh: Patria Subuh
(Pengamat Sosial)
TANGGAL 6 dan 9 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah yang tak pernah terlupakan bagi masyarakat dunia, terutama bagi Bangsa Jepang. Hari itu menjadi mimpi buruk (nightmare) yang amat menakutkan bagi penduduk Hiroshima dan Nagasaki.
Dalam hitungan menit saja, puluhan ribu penduduk kota itu tercerabut seketika dari rutinitas hidupnya akibat meledaknya bom atom yang sangat mematikan (lethal) dan merusak (destructive).
Di hari naas tersebut, pesawat B.29 Superfortress milik USAAF Amerika Serikat yang dipiloti oleh Kolonel Paul W Tibbets Jr, menjatuhkan bom atom yang berkode sandi “Little Boy” dan “Fat Man”, yang mengandung sekitar 64 kg zat Uranium 235 yang sudah diperkaya- berkekuatan 15 dan 20 kiloton TNT – berhasil dalam sekejap meluluhlantakkan Kota Hiroshima dan Nagasaki.
Bom ini sengaja digunakan oleh Tentara Amerika Serikat untuk lebih menyederhanakan dan mempersingkat waktu perang yang berlarut- larut, menyita waktu dan sumber daya.
Pengeboman tersebut menghasilkan efek jangka panjang yang massif bagi bangsa Jepang dan seluruh dunia serta segera mengubah jalannya teater sejarah perang Dunia II. Diperkirakan 40.000 orang di Hiroshima dan 70.000 orang di Nagasaki meninggal seketika akibat luka bakar hebat, keracunan serius dan radiasi bom atom.
Puluhan ribu orang lainnya mengalami cedera dan penyakit mutasi genetik yang parah bertahun-tahun setelah bom meledak. Sementara mereka yang bertahan hidup menderita penyakit akibat terpapar radiasi akut seperti sesak napas, kulit melepuh, kerusakan gen DNA dan leukemia (kanker darah).
Perang dunia II antara Jepang dan Sekutu (Allied Force) sesungguhnya tidak hanya dipicu oleh serangan tiba-tiba armada Jepang ke Pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii (7 Desember 1941). Namun hal ini juga disebabkan oleh keinginan bangsa Jepang untuk menganeksasi sebagian wilayah Asia lainnya (seperti Korea, Cina, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia) antara 1937 sampai 1945, dalam rangka menemukan sumber daya alam (natural resources) untuk memenuhi kebutuhan industrinya yang semakin meningkat.
Jepang notabene tidak memiliki cadangan deposit sumber daya yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan industri dasarnya (seperti besi, baja, tembaga, aluminium, dll) sehingga untuk menggerakkan industrinya itu mereka terpaksa mencarinya ke negara lain.
Di samping itu, jumlah penduduk yang meningkat secara signifikan membuat negara itu mengalami kelebihan kapasitas dan mulai melirik negara lain yang memiliki sumber daya untuk menunjang industrinya.
Restorasi Meiji (Meiji – Ishin /1866-1869 M) yang menandai dimulainya reformasi oleh Bangsa Jepang merupakan salah satu penyebab kejatuhan Shogun Tokugawa (1603-1808 M) pada awal kebangkitan Jepang menjadi negara industri.
Restorasi ini menyebabkan restrukturisasi besar-besaran pada bidang politik, sosial, ekonomi, militer dan budaya Jepang, yang berlanjut hingga ke awal zaman modern.
Sebagai seorang Daimyo, Tokugawa Ieyasu (1543 – 1616 M) berhasil memerintah Bangsa Jepang melalui berbagai macam penaklukan-penaklukan lokal atas restu kaisar.
Ia, bersama dengan Toyotomi Hideyoshi dan Oda Nobunaga adalah salah satu dari tiga pemersatu Bangsa Jepang yang disegani oleh rakyatnya. Mereka bertiga ikut andil membawa bangsa Jepang menjadi bangsa yang disegani di dunia atas pencapaiannya menjadi negara maju di Asia.
“Negara Makmur, Militer Kuat” (富国強兵, fukoku kyōhei). Slogan inilah yang menumbuhkan ambisi Jepang yang agresif untuk secara bertahap menguasai negara – negara di sekitarnya kecuali Rusia di Utara dan India di Asia Kecil, selama perang Dunia II (1939 – 1945 M) yang menghasilkan begitu banyak kesengsaraan itu.
Banyak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia, kerja paksa dan pelecehan seksual yang merendahkan harkat dan martabat bangsa yang dijajah.
Jepang tumbuh menjadi negara militer aristokratik yang terus melebarkan sayapnya sampai ke wilayah Indochina dan Asia Tenggara. Hampir seluruh wilayah itu berada dalam genggamannya. Kontrol dilakukan secara ketat melalui penguasaan lembaga-lembaga negara terkait yang dianggap penting dan strategis.
Perang Asia Timur Raya yang meluas di Asia sampai ke pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik sungguh sangat menguras energi Bangsa Jepang. Setelah 4,5 tahun berperang, situasi tiba-tiba berbalik arah pada kekalahan demi kekalahan di front depan.
Tentara Sekutu yang semakin berpengalaman merangsek maju dalam perang paling berdarah duel satu lawan satu (man to man fighting) di medan tempur seperti Guam, Iwo Jima dan pulau-pulau kecil lainnya di Pasifik dalam “Operation Detachment” yang dipimpin oleh Raymond A Spruance, dkk.
Pada tanggal 2 September 1945, di atas kapal perang USS Missouri yang lego jangkar di Teluk Tokyo, Jepang akhirnya menandatangani perjanjian tertulis tentang penyerahan diri yang menandai berakhirnya permusuhannya dengan Sekutu dalam perang Dunia II.
Instrumen penyerahan diri tersebut ditandatangani oleh Menteri Luar negeri Jepang waktu itu, Mamoru Shigemitsu atas nama kaisar Jepang Hirohito, dan Jendral Douglas Mc. Arthur, Panglima tertinggi armada perang sekutu untuk wilayah Pasifik Barat Daya.
Uraian singkat di atas hanya merupakan sedikit ringkasan dari kisah yang sebenarnya terjadi pada perang Dunia II. Esensi utama dari cerita ini sesungguhnya adalah bagaimana “hukum karma” dapat berlaku terhadap sebuah bangsa yang dengan semena-mena memerangi bangsa yang lebih lemah. Karma itu dapat dialami langsung dengan memakai tangan bangsa lain (Tentara Sekutu) yang lebih kuat dan terlatih.
Tidak salah kalau pepatah Jawa mengatakan : “Crah agawe bubrah, rukun agawe santosa”, (permusuhan membuat rusak, rukun membuat sentosa) yang artinya adalah Permusuhan yang timbul akan mengakibatkan kerusakan, sementara kerukunan membentuk kesentosaan. #43
(Disusun dari berbagai sumber)