
Oleh: Patria Subuh
الحياة ليست عن انتظار العاصفة تمر، ولكن عن تعلم كيفية الرقص تحت المطر.
(Al-ḥayat laysat can intiḍar al-caṣifah tamur, walakin cal taclum kayfiyyat ar-racṣ taḥt al-maṭar)
Artinya: Hidup bukanlah tentang bagaimana menunggu “badai berlalu”, tapi adalah tentang belajar bagaimana menari “di bawah hujan”.
Demikianlah kutipan pepatah Arab yang barangkali mengilhami panglima Thariq bin Ziyad ( 670 M – 720 M).
Ia pun tidak mau menunggu “badai berlalu” terlalu lama ketika memutuskan bersama pasukannya untuk menyeberangi Selat Gibraltar dan memenangkan pertempuran demi pertempuran dalam penaklukan yang mendebarkan di semenanjung Iberia (Spanyol :red).
Seluruh kapal yang digunakan untuk menyeberangi selat kemudian disuruh bakar atas perintahnya sehingga tak ada jalan lain lagi bagi anak buahnya untuk mundur kembali ke pantai Maghribi di Afrika Utara.
Thariq bin Ziyad yang berasal dari Aljazair sangat dikenal dalam legenda Spanyol dengan gelar panggilan Taric el Tuerto (Tarik bermata satu).
Ia adalah seorang komandan militer dari Dinasti Umayyah yang memimpin penaklukan atas wilayah Andalusia (Spanyol dan Portugal) pada tahun 711 M.
Ketika itu, ia masih berumur relatif muda dan belum mempunyai banyak pengalaman (41 th). Khalifah Al Walid (668 M – 715 M) dari Dinasti Umayyah yang berkedudukan di Damaskus, Suriah, yang merupakan khalifah keenam (705 M – 715 M)-hanya berkuasa selama sepuluh tahun-tidak percuma untuk mengangkat Thariq bin Ziyad karena kepandaian dan kepiawaiannya dalam memimpin pasukan.
Para pengamat sejarah Eropa terkesima dengan begitu banyak kota di Spanyol yang satu persatu dibebaskannya.
Serangan pasukan yang dipimpinnya pada musim panas 711 terhadap kerajaan Visigoth yang ketika itu menguasai Spanyol, membuat Raja Roderick terbunuh dalam pertempuran Guadalete (19 Juli 711).
Ini merupakan titik awal dari penaklukan demi penaklukan yang bersejarah terhadap wilayah Hispania, dimana kota pertama yang diakuisinya adalah Cartagena, tak jauh dari Gibraltar.
Panglima Thariq dikenang dalam sejarah Eropa sebagai orang yang ikut berjasa pertama kali membuka pintu bagi penguasaan ilmu pengetahuan dan peradaban baru bagi bangsanya.
Selama lebih kurang 700 tahun kemudian, Andalusia menjadi pusat peradaban yang tak tertandingi yang mampu menyinari Eropa dengan cahaya ilmu. Murid-murid berdatangan dari seluruh penjuru untuk belajar kepada guru-guru Arab mereka bagaimana membangun sebuah peradaban dan menguasai ilmu pengetahuan.
Pemerintahan Dinasti Umayyah yang awalnya dikembangkan oleh para pejuang muslim, yang menguasai Spanyol (711 M – 1031 M) kemudian berkembang menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Abd al Rahman III (912 M – 961 M).
Ia membangun Cordoba, ibukotanya beserta Masjid Agung Cordoba yang menjadi ikon utama kekuasaannya yang mencerminkan budaya Suriah dengan akar peradaban Bizantium dari ibukota Umayyah di Damaskus.
Di bawah Khalifah, Andalusia tumbuh menjadi sebuah imperium dengan populasi agama dan suku bangsa yang saling menghargai dan beragam.
Sejarah pencapaian yang luar biasa oleh para pionir yang dimulai oleh Thariq bin Ziyad pada zaman Dinasti Umayyah serta spirit yang melekat padanya, sudah sepatutnya dijadikan pelajaran, diambil intisarinya dan diteladani oleh Umat Islam yang pada saat ini sebagian menjadi kelompok marjinal yang kurang percaya diri, terbelakang dan terkucil dari pergaulan dunia.
Walaupun sejarah adalah nostalgia, namun jangan sekali-kali melupakan sejarah. Seperti kata Jokowi – Presiden Indonesia dua periode – sejarah adalah JASMERAH. Ia patut dihargai dan dijadikan pelajaran serta bahan renungan. *)
Penulis adalah Pengamat Sosial
