
Oleh: Muhammad Najmi
DARI Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Aku pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan jika aku menjumpai malam Lailatul Qadar?’ Beliau bersabda: ‘Ucapkanlah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf, mencintai kemaafan, maka maafkanlah aku)’.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3513; Ibnu Majah, no. 3850 – Hadis sahih)
Ada getar rindu yang sulit dilukiskan, sebuah kerinduan yang tak hanya menggema di hati, tapi menjalar hingga ke relung jiwa yang terdalam. Di penghujung Ramadan, ketika malam mulai merangkak dalam sunyi, hati para pencari ampunan tak henti menengadah ke langit, berharap menemukan malam yang lebih baik dari seribu bulan—Lailatul Qadar.
Malam itu bukan sekadar waktu yang berlalu di antara gelap dan terang. Ia adalah rahmat yang turun lembut, meliputi setiap doa yang lirih, setiap air mata yang jatuh karena penyesalan, dan setiap harapan yang dibisikkan kepada-Nya. Di sanalah pintu-pintu langit terbuka lebar, membawa janji ampunan bagi mereka yang bersungguh-sungguh mengetuknya.
Berbahagialah mereka yang hatinya tergerak untuk meraih malam penuh kemuliaan ini. Sebab, bukan sekadar pahala yang Allah janjikan, melainkan juga ampunan atas dosa-dosa yang telah lalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menghidupkan Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, no. 1901; Muslim, no. 760)
Adakah hati yang tak bergetar membayangkan malam di mana setiap doa bisa diijabah, setiap luka bisa disembuhkan, dan setiap asa bisa diperkenankan? Di sanalah letak keagungan Lailatul Qadar—malam di mana takdir selama setahun ditetapkan, dan para malaikat turun membawa rahmat hingga fajar menyingsing.
Bagi jiwa yang merindu, malam-malam terakhir Ramadan adalah waktu untuk kembali menyusuri lorong-lorong keheningan. Di sepertiga malam yang sunyi, ada cahaya harapan yang menanti untuk menyinari hidup kita yang penuh kekhilafan. Setiap sujud yang dalam, setiap doa yang lirih, dan setiap tetes air mata menjadi saksi kesungguhan hati yang berharap ampunan-Nya.
Namun, adakah kita sudah bersungguh-sungguh mengetuk pintu-Nya? Adakah kita benar-benar mendambakan Lailatul Qadar, atau kita sekadar melaluinya sebagai malam-malam biasa?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyia-nyiakan sepuluh malam terakhir. Dalam riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan: “Apabila telah masuk sepuluh malam terakhir (bulan Ramadan), Nabi menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh, dan mengencangkan ikat pinggangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Itulah teladan cinta yang ditinggalkan oleh Rasulullah. Sebuah cinta yang terwujud dalam penghambaan tanpa lelah, berharap meraih rida dan ampunan-Nya.
Bayangkanlah, di suatu malam yang hening, kita bersimpuh di hadapan-Nya. Bibir kita gemetar melafalkan doa: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni…”
Bukankah kita semua adalah hamba yang penuh dosa? Bukankah ada luka yang ingin dihapuskan, ada kesalahan yang ingin dimaafkan, dan ada harapan yang ingin diwujudkan? Jika di malam itu Allah membukakan pintu pengampunan-Nya, apakah kita tega menyia-nyiakannya?
Sepuluh malam terakhir bukan sekadar tentang begadang atau melewatkan waktu dalam kesia-siaan. Ini adalah kesempatan emas, di mana hati kita berkesempatan mendekat pada-Nya tanpa hijab. Mungkin, di antara sujud panjang kita, ada dosa besar yang diampuni. Mungkin, di antara munajat yang kita bisikkan, ada takdir baik yang ditetapkan.
Tidakkah hati kita rindu untuk menjadi hamba yang dimaafkan? Tidakkah kita ingin keluar dari Ramadan ini sebagai jiwa yang bersih, seolah baru terlahir kembali?
Wahai jiwa yang merindu, mari kita hidupkan malam-malam ini dengan sepenuh cinta dan pengharapan. Jangan biarkan lelah mengalahkan kerinduan kita pada ampunan-Nya. Jangan biarkan kantuk mencuri peluang bertemu dengan malam seribu kebaikan.
Bangkitlah dalam sujud. Angkat tanganmu dalam doa. Biarkan air matamu menjadi saksi kesungguhan hatimu. Sebab, di malam-malam inilah Allah membebaskan hamba-hamba-Nya dari api neraka, dan di malam-malam inilah janji keampunan dihamparkan seluas langit dan bumi.
Katakan kepada hatimu: “Aku datang, ya Allah, sebagai hamba yang penuh dosa. Tapi aku percaya, rahmat-Mu jauh lebih besar dari kesalahanku. Jika Engkau tidak mengampuniku, lalu kepada siapa lagi aku berharap?”
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kesempatan meraih Lailatul Qadar. Semoga hati kita dikuatkan untuk menghidupkan malam-malam ini dengan doa, dzikir, dan munajat yang tulus. Dan semoga, di akhir perjalanan Ramadan ini, kita menjadi hamba yang diridhai-Nya—hamba yang pulang dengan jiwa yang bersih, dan hati yang dipenuhi cahaya.
Amin, ya Rabbal ‘Alamin. *)
