
Oleh: Abdullah Khusairi
PULUHAN bidikan kamera Edy Utama, dengan pendekatan seni visual yang tepat, memberi pesan tentang pembangunan kebudayaan mesti dimulai dengan membenahi hulu, agar jernih di hilir. Pemangku kepentingan, entah itu politisi, penguasa, hingga siapapun mesti sadar tentang akar keberagamaan yang ada hari ini tiada lain bersandar pada masa lalu. Sayangnya, masa lalu itu seperti sengaja dilupakan. Dibiarkan lapuk sendiri.
Kesan ini terasa setelah menikmati foto-foto karya Budayawan Edy Utama dalam Pameran Etnofotografi bertajuk Islam di Minangkabau; Surau dan Keberagamaan di Sumatera Barat, Taman Budaya 24-31 Oktober 2025.
Di hulu, pada karya-karya Edy Utama, memang terbukti tidak pernah disentuh pembenahan, kurang perhatian, dibiarkan usang dari pemajuan kebudayaan. Masih mujur, sebagian masyarakat tetap mencintai dan menjalankan budaya sebagai bagian perjalanan dan peristiwa spiritual. Pada titik inilah, pertahanan terakhir di hulu masih terjaga.
Sementara itu, di hilir, di muara, yang baru dirayakan, diberi tempat bahkan seperti mesti diputus rantai sejarahnya dengan yang di hulu. Ini pesan dan kritik yang sangat halus, mengingatkan mata bathin para pemangku kepentingan untuk memikirkan strategi kebudayaan mesti pergi ke hulu. Menyelami, menggali, mempelajari, agar lahirnya kejernihan peradaban di masa depan.
Menikmati pameran ini, diajak untuk menelusuri relung-relung sunyi spiritualitas masa lalu yang kini masih bertahan dalam terpaan zaman. Misal, bangunan surau yang terbiarkan terbengkalai dan lusuh. Dibiarkan sepi dimakan usia tanpa ada yang peduli menyentuhnya. Edy Utama seakan-akan menyampaikan pesan itu melalui karyanya, sentuhlah wahai kekuasaan!
Bidikan Edy Utama memiliki nilai kabar yang sangat tinggi untuk mata bathin kita. Sebagai fotografer, berbasis seni dan jurnalisme, pada pameran ini, memberi kritik kultural tajam terhadap kecenderungan masyarakat modern, termasuk elite agama dan politik, yang lebih gemar menata citra ketimbang menata akar budaya. Bagaimanakah batang, dahan, daun, ranting, pucuk, bunga, hingga bisa menghasilkan buah, jika akar tak pernah dipupuk? Bukankah, jika di hulu dibiarkan kering, maka hilir hanya akan menjadi keruh dan tiada bermakna.

Islam di Minangkabau dalam karya Edy Utama, memberi kesan kemegahan ritual keberagamaan yang pernah ada dan masih bertahan. Jejak peristiwa budaya dan spiritual di Pariaman, Agam, Tanahdatar, Sijunjung, hingga Lubuk Sikaping, merupakan memori kolektif tak terbantahkan tentang keberislaman yang membumi. Setelah menikmati foto-foto ini, satu hal yang terasa; jangan-jangan Edy Utama sedang mencemooh kita yang sedang melupakan masa lalu itu.
Apalagi kini, bila dilihat dari kecenderungan perhatian secara politik dan pembangunan. Hampir sulit dipercaya, perhatian tersebut tidak pernah mampu menyadarkan semua pihak tentang sumber otentik yang mestinya terjaga dan terpelihara. Arah kebijakan itu mungkin ada, tapi hampa dan banal. Padahal, di banyak budaya di luar sana, justru kemajuan sejati justru lahir dari kemampuan menjaga sumber-sumber di hulu. Sehingga kejernihan di muara dapat dikabarkan kepada dunia. Bukan sebaliknya, membawa semua dari muara dengan daya rusak yang besar diusung ke hulu.
Ketua Panitia Pameran, Tuanku Muhammad Taufik, SAg, MSi, dalam sambutannya menyatakan pameran ini menjadi pengingat tentang corak keberagamaan Islam di Minangkabau yang perlu diberitahu kepada generasi muda dan juga dunia. Senada dengan itu, sebagaimana dalam sambutannya, Edy Utama menyatakan, belajarlah ke hulu agar jernih di muara. Dari etnografi ini, keberagamaan Islam di Minangkabau sesungguhnya sangatlah jernih di hulu, sayangnya kini sering sekali dikeruhkan suasananya di muara. Tahniah, Bung! *)
Penulis adalah Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, dan menulis beberapa buku























