
Oleh: Irdam bin Imran
(Pengamat Sosial dan Politik)
DEMO besar pada 25–28 Agustus 2025 adalah cermin retak dari wajah bangsa kita. Di jalanan, mahasiswa, buruh, kelompok Islam, civil society, hingga massa bayaran tumpah ruah. Tetapi di balik semua itu, ada persoalan jauh lebih dalam: hutang elektoral.
Kemenangan Prabowo–Gibran pada 2024 memang menjadi kenyataan sejarah, tetapi ia bukan kemenangan murni. Ia lahir dari kompromi: restu dinasti politik Jokowi, dukungan jaringan relawan, serta kehadiran institusi Polri dan TNI yang ikut membuka jalan. Semua itu menimbulkan hutang budi. Dan hutang itu kini menjerat Presiden.
Ketika Prabowo mulai mengambil langkah berbeda—memberi amnesti pada Tom Lembong dan Hasto, mengembalikan jabatan Kunto, hingga rencana reshuffle “Genk Solo”—resistensi datang dari segala arah. Elit oligarki yang kehilangan kenyamanan, mafia yang terancam, elit global yang khawatir, bahkan civil society yang kecewa karena Prabowo masih terlihat terikat pada bayang-bayang Jokowi.
Inilah lingkaran setan demokrasi elektoral kita. Pemimpin lahir dari transaksi, lalu terjebak dalam balas budi. Dari sinilah tumbuh nepotisme, kolusi, dan korupsi.
Pesan Para Pendiri Bangsa
Padahal, sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri bangsa telah memberi pesan.
Bung Hatta menekankan demokrasi yang bermoral, bersandar pada ekonomi rakyat, bukan permainan elit.
Tan Malaka menulis dalam Madilog, bangsa harus merdeka dari pemodal, berpikir jernih dan rasional.
Sutan Syahrir mengingatkan, kemerdekaan akan sia-sia jika jatuh ke tangan oligarki pribumi.
M. Natsir menekankan integritas dan moralitas sebagai pondasi bernegara.
Haji Agus Salim berpesan: hidup harus diabdikan untuk rakyat, bukan untuk keluarga atau dinasti.
Suara Reformasi dan Generasi Baru
Amien Rais di era reformasi mengingatkan pentingnya supremasi konstitusi agar demokrasi tidak jatuh ke tangan elit transaksional.
Anies Baswedan menegaskan bahwa politik adalah jalan perubahan, tetapi perubahan sejati tidak boleh terjebak pada gaya hidup hedonis dan kekuasaan semu.
Saya sendiri, Irdam Imran, hanya seorang lelaki dari kaki Bukit Kurao, percaya bahwa bangsa ini harus menempuh taubat politik nasional. Taubat berarti kembali ke jalan lurus: menegakkan supremasi konstitusi, mengembalikan mandat rakyat kepada MPR RI, dan melepaskan presiden dari jeratan hutang elektoral.
Jalan Kembali ke Supremasi Konstitusi
Sistem pemilu langsung yang kita jalani memang tampak demokratis. Tetapi faktanya, ia membuka pasar gelap politik: uang berseliweran, suara dibeli, relawan menagih balas jasa, oligarki ikut bermain. Presiden akhirnya terikat hutang budi, bukan hanya kepada rakyat, tetapi kepada sponsor.
Dengan mengembalikan pemilihan presiden ke MPR RI, kita memutus lingkaran hutang budi itu. Presiden dipilih oleh representasi rakyat, bertanggung jawab kepada MPR, bukan kepada relawan, dinasti, atau mafia.
Inilah pemurnian demokrasi, bukan kemunduran. Inilah jalan kembali ke politik yang berdaulat.
Pesan Sufistik untuk Bangsa
Rumi pernah berpesan: “Jika ingin bebas, lepaskan dirimu dari belenggu yang mengikatmu. Jangan biarkan hidupmu ditentukan tangan orang lain.”
Begitu pula bangsa ini. Indonesia hanya akan bebas jika pemimpinnya berani melepaskan diri dari hutang elektoral, dan kembali kepada konstitusi yang asli.
Taubat politik nasional adalah pilihan pahit, tetapi itulah obat. Memutus mata rantai nepotisme, kolusi, dan korupsi tidak mungkin tanpa keberanian melepaskan ikatan hutang budi.
Penutup
Demo Agustus adalah alarm sejarah. Ia adalah tanda bahwa rakyat mulai muak dengan politik hutang budi. Pesan Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Natsir, Agus Salim, Amien Rais, Anies Baswedan, berpadu dalam satu arah: kedaulatan rakyat harus dikembalikan pada konstitusi.
Kini, Prabowo berdiri di persimpangan.
Apakah ia akan terus tersandera oleh hutang elektoral, atau ia berani menempuh jalan taubat politik nasional?
Jika ia memilih jalan kedua, sejarah akan menulisnya bukan sekadar presiden, tetapi pemimpin yang menyelamatkan bangsa. *)