
Oleh: Prof Henmaidi, ST, MEng.Sc, PhD
(Wakil Rektor IV Universitas Andalas)
KETIKA musim politik datang, muncullah tokoh-tokoh “baru” yang tiba-tiba menjadi seakan harapan rakyat. Mereka hadir di baliho, spanduk, dan reels Instagram, lengkap dengan senyum ala iklan pasta gigi. Slogan manis yang seolah siap menyelamatkan negeri dari keterpurukan. Tapi tunggu dulu—apakah mereka benar-benar pemimpin, atau hanya aktor politik dengan skenario yang sudah ditulis oleh tim pencitraan?
Dalam dunia yang serba bisa diatur ini, tidaklah sulit menciptakan sosok pahlawan instan. Cukup tambahkan satu-dua momen “turun ke pasar”, “marah-marah melihat kesalahan staf” , padu padan busana yang merakyat, dan narasi pengabdian yang dikemas apik—selesai. Publik terpesona, tapi seperti pepatah lama, “tak semua yang berkilau itu emas.” Dalam hal ini, tak semua yang viral itu asli.
Tokoh sejati ibaratkan mutiara. Ia tetap berkilau walau tak digosok. Ia tetap berharga walau terjebak dalam lumpur. Ia tidak perlu panggung buatan untuk bersinar, karena kualitasnya tumbuh dari dalam—dari rekam jejak yang panjang, dari konsistensi idealisme, dan dari kerja nyata yang tak selalu terekam kamera. Sementara tokoh palsu, ya… kilapnya seperti pelapis emas sepuhan. Mungkin silau sebentar, tapi cepat pudar ketika terkena air kenyataan.
Lantas, bagaimana cara membedakannya?
Pertama, lihat rekam jejaknya. Tokoh asli biasanya sudah bekerja jauh sebelum ia terkenal. Ia bukan baru muncul saat mendekati pemilu. Ia tak tiba-tiba muncul dari balik panggung dengan “video pencitraan” yang sempurna dari segala sudut. Ia tumbuh bersama masalah, bersama rakyat. Sementara tokoh palsu? Muncul seperti sulap. Tiba-tiba jadi perhatian, padahal kemarin kita bahkan tak tahu siapa dia.
Selanjutnya, kedua, perhatikan konsistensinya. Tokoh sejati tidak gampang berubah haluan hanya karena survei atau tekanan partai. Ia memegang prinsip meski itu tidak populer. Tokoh palsu? Pagi tempe, sore kedele. Hari ini bicara keadilan, besok jadi juru bicara oligarki. Lidahnya lentur tak bertulang, bicara ikut arah angin.
Lalu, ketiga, lihat reaksinya saat krisis. Pemimpin asli tidak kabur saat rakyat butuh. Ia hadir, bukan untuk menyalahkan atau membuat drama, tapi untuk menyelesaikan masalah. Sementara tokoh palsu biasanya malah sibuk mencari angle kamera yang pas sebelum memberi pernyataan. Kalau bisa bikin vlog dari lokasi bencana, kenapa tidak? Bersihkan situasi, atur posisi, jaga mimik dan postur tubuh dan… action!
Keempat, cek siapa yang mengelilinginya. Tokoh sejati dikelilingi oleh orang-orang yang juga punya rekam jejak kuat, bukan barisan penggemar atau “tim tukang tepuk tangan profesional”. Ia tidak takut dikritik, bahkan mengundang kritik untuk memperbaiki diri. Sementara tokoh palsu… kritik dianggap ancaman. Yang tidak memuji, langsung dicap haters atau dianggap tidak nasionalis.“ Kita bisa menilai seseorang dari circle terdekatnya. Makanya, perhatikan baik-baik siapa orang-orang yang paling sering ia berkumpul.
Terakhir, kelima, teliti dengan seksama dan jujur: apakah dia benar-benar dekat dengan rakyat, atau hanya sedang “dekat-dekatan”? Tokoh sejati dekat dengan rakyat karena memang ia berasal dan tumbuh bersama rakyat. Ia paham betul masalah di lapangan karena pernah mengalaminya. Sementara tokoh palsu? Biasanya baru kenal harga cabe dan bawang kalau ada wartawan.
Sebagai warga, kita tidak boleh malas berpikir. Jangan biarkan pilihan politik kita ditentukan oleh algoritma media sosial atau desain baliho. Negara ini terlalu besar untuk diserahkan pada tokoh palsu yang cuma pandai berbicara dan bergaya.
Jadilah rakyat yang skeptis, tapi rasional. Jangan buru-buru jatuh cinta hanya karena gaya. Cari yang bisa bekerja, bukan sekadar bicara. Karena yang kita butuhkan bukan pahlawan layar kaca, tapi pemimpin nyata yang tahu rasanya berkeringat dan bertanggung jawab pada ummatnya.
Kilau sejati tak butuh lampu sorot. Dan ketika tirai panggung ditutup, hanya mutiara yang akan tetap bersinar. Yang palsu? Akan kembali ke kotaknya, menunggu musim panggung berikutnya. *)
