
Oleh: Djohermansyah Djohan
(Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)
PEMERINTAHAN itu kompleks dan rumit. Sistemnya sulit untuk bisa sempurna. Ada saja kurang dan bolong-bolongnya. Lebih-lebih bila demokrasi masih “in the making”, baru berusia dua-tiga dasawarsa.
Tambah parah bila presidennya mengabaikan etika alias bermoral rendah. Patut dan tak patut, pantas dan tak pantas dicampur-baurkannya saja.
Karena itu, regulasi pemerintahan sebagai pagar demokrasi wajib hukumnya diperbaiki terus dari waktu ke waktu, dan rakyat harus dibuat cerdas dalam memilih pemimpin supaya jangan mudah tertipu.
Salah satu yang urgen saat ini adalah pengaturan tentang “Presidential Transition Act”. Aturan masa transisi presiden dari presiden petahana ke presiden terpilih yang seyogianya dibuat di dalam suatu UU Kepresidenan.
Misalnya, pada akhir masa jabatannya presiden tak boleh membuat keputusan strategis terkait mutasi pejabat, pembebanan berat atas biaya negara, dan menerbitkan perizinan sumber daya alam yang merusak lingkungan.
Di tingkat lokal, UU Pemda kita juga perlu direvisi untuk memasukkan pengaturan transisi kepala daerah. Mengapa? Karena praktik serupa itu juga kerap terjadi di daerah-daerah kita.
Hal tersebut penting, karena putusan kepala pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan yang sudah “lame duck” dari studi selama ini cenderung dipenuhi oleh “interest” pribadi dan golongan ketimbang untuk kepentingan bangsa, daerah dan negara.
Kalau main bola, ini namanya main di “last minutes”. Jadi, seolah-olah boleh melakukan yang “bukan-bukan”. Selain itu, putusan tersebut juga membebani pemerintah baru, berpotensi mengganggu langkahnya untuk memenuhi janji kampanye.
Untuk jangka pendek, sementara UU itu belum dimiliki, maka kepala pemerintahan baru sesudah dilantik atas dasar pertimbangan manfaat dan mudharat bagi rakyat berdasarkan evaluasi sebaiknya mencabut putusan “nyeleneh” pendahulunya itu. Tak perlu ragu, segan, sungkan, maupun “rasa ewuh pakewuh”. *)