
PADANG, forumsumbar — Rencananya Hamas (Himpunan Media Sumbar) bekerjasama dengan PSH Unand (Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas) dan Harian Singgalang, akan menggelar acara “78 Tahun Sang Maestro Penulis Indonesia Makmur Hendrik” pada tanggal 4 Juni 2025 di Convention Hall Unand, Kampus Limau Manis Padang.
Bersamaan dengan acara tersebut, sekaligus dilakukan peringatan 21 Tahun wafatnya Hamid Jabbar, seorang penyair/wartawan Indonesia asal Ranah Minang yang wafat saat sedang baca puisi di kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, 21 tahun yang lalu, tepatnya 29 Mei 2004.
Sebelumnya, pada tahun 2024 lalu, Hamas telah pula menggelar acara “Peringatan 20 Tahun Wafatnya Penyair Hamid Hamid Jabbar”. Dan tahun 2025 ini bersamaan dengan acara Makmur Hendrik.
Menurut Isa Kurniawan dari Hamas, acara ini untuk menghargai para seniman yang telah mengharumkan nama Sumbar, atau Ranah Minang, dengan karya-karya mereka yang fenomenal dan melegenda, baik di tingkat nasional maupun internasiomal.
“Mudah-mudahan acara ini bisa terus menggelorakan semangat berkesenian, atau berkebudayaan, khususnya pada kaum muda Minang, sehingganya diharapkan akan lahir Makmur Hendrik-Makmur Hendrik dan Hamid Jabbar-Hamid Jabbar baru yang lebih lagi karya dan kiprahnya”, ujar Isa, Jumat (9/5/2025).
Bagi Harian Singgalang, keduanya, Makmur Hendrik dan Hamid Jabbar pernah bertahun-tahun menjadi wartawan di koran urang awak tersebut.
Saat acara nanti, akan ada pembacaan doa oleh Buya H Mas’oed Abidin untuk kedua seniman besar tersebut, dan juga sekaligus Buya HMA didaulat untuk membaca puisi. Akan ada pula Dr Andria C Tamsin dengan puisi-puisi karya Hamid Jabbar yang fenomenal seperti; “Komputer Teler”, “Setitik Nur”, “Wajah Kita”, dan lainnya.

Sekilas Hamid Jabbar
Hamid Jabbar adalah seorang wartawan, sastrawan dan penyair Indonesia yang berasal dari Ranah Minang, dan merupakan salah seorang tokoh sastrawan Angkatan 70-an yang dikenal sebagai penyair yang peka terhadap nilai-nilai religius yang bernafaskan Islam.
Nama lengkapnya ialah Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar. Namun belakangan ia menggunakan nama pena yang lebih singkat dengan menggabungkan sepotong namanya dan nama kakeknya menjadi Hamid Jabbar.
Hamid Jabbar merupakan adik dari ulama kharismatik Ranah Minang dan penulis Indonesia, Buya H Mas’oed Abidin bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar.
Hamid Jabbar lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, dan meninggal dunia pada hari Sabtu tanggal 29 Mei 2004 ketika membaca puisi dalam suatu acara di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Hamid Jabbar adalah penyair spontan. Ia bisa menulis puisi dengan cepat karena dirinya adalah puisi itu sendiri. Ia tidak memperlakukan kata-kata sebagai pesuruh untuk mengantarkan pengertian. Ia justru menjalin hubungan yang intim dengan kata. Jiwanya dan kata-kata menyatu. Sehingga apa yang dilihatnya oleh mata sudah menjadi puisi, tinggal melukiskannya dengan kata-kata. Penjiwaannya yang total membuat puisi-puisi Hamid menjadi semacam kearifan (wisdom).
Sebenarnya bakat seni yang dimiliki Hamid Jabbar turun dari keluarganya. Keluarga mereka pencinta pantun. Ibunya selalu mendendangkan pantun ketika meninabobokkannya. Selain itu, Hamid Jabbar dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat.
Berkaitan dengan kegiatan baca puisi, Hamid Jabbar mendapat predikat sebagai “Penyair Zikir”. Hal itu bertalian dengan puisi-puisinya yang banyak berbicara tentang kebesaran Tuhan.
Dia mulai menulis tahun 1966 melalui bimbingan guru tidak resminya, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Abrar Yusra, Chairul Harun, atau Bagindo Fahmi.
Hamid Jabbar dikenal sebagai penyair yang lugas dalam menyampaikan kritik sosial melalui puisi-puisinya. Beberapa puisi kritiknya yang terkenal antara lain; Selamat Tinggal Manusia Budak Indonesia, Proklamasi 2, Indonesiaku, dan lain-lain.
Adapun karya Hamid Jabbar yang berupa kumpulan puisi, antara lain; (1) Dua Warna (1974), (2) Paco-Paco (1974), (3) Wajah Kita (1981), dan (4) Rencong Gajah (1984). Yang berupa puisi lepas antara lain (1) “Doa Mabuk Para Tiran” yang dimuat dalam Mingguan Pelita, 13 Januari 1991, (2) “Gairah Kdiamat I” dan “Gairah Kdiamat II” dalam Sinar Harapan, 30 Juli 1983, (3) “Setitik Nur” dalam Berita Buana, 25 November 1980, (4) “Tetapi” dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (5) “Debu” dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (6) “Nyanyian Belum”, “Nyanyian Dalam”, “Nyanyian Jauh”, dan “Nyanyian Purba” dalam Berita Buana , 10 Agustus 1982, (7) “Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku” dan “Ternyata” dalam Panji Masyarakat, 11 Juni 1979, (8) “Potong Bebek Angsa” dalam Pelita 12 Juni 1979, (9) “Di Taman Bunga, Luka Tercinta”, “Gedung Merdeka, Sukabumi”, dan “Telah dan Kecuali” dalam Sinar Harapan, 6 November 1982, (10) serta “Komputer Teler” dalam Pelita 18 Maret 1987.
Tahun 1999 Hamid Jabbar mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa melalui kumpulan puisinya yang berjudul Super Hilang Segerobak Sajak (1998).
Selain menulis puisi, Hamid Jabbar juga menulis cerpen. Sebagai penulis cerpen ia sangat ekstrem karena lari dari sistem konvensional. Gaya bahasa Hamid Jabbar bersifat simbolik.
Cerpen-cerpen Hamid Jabbar antara lain; (1) “Tak Harmoni” dalam Ulumul Qur’an, 1989, (2) “Tas” dalam Zaman, 6 April 1985, (3) “Pemberontak” dalam Amanah, 23 Agustus 1990, (4) “Membangun Kdiamat” dalam Amanah, 7–20 November 1986, (5) “Cerpen Kita, Merdeka dan Teler” dalam Pelita, 6 Agustus 1986, (6) “Sampah” dalam Singgalang, 15 Januari 1984, (7) “Tak Ada Tempat” dalam Kartini, 4–17 Januari 1982, (8) “Pamplet” dalam Dialog, 12–25 Juni 1921, (9) “Engku Datuk Yth. di Jakarta” dalam Kompas, 2 November 1980. (10) “Komkapanin” dalam Indonesia Raya, 10 November 1969.
Bersama Wisran Hadi, Hamid Jabbar sempat mendirikan Grup Bumi Teater di Padang. Kemudian di samping aktif melakukan studi tentang sastra dan budaya Minangkabau, ia juga mengikuti berbagai seminar sastra dan budaya, serta membacakan puisi-puisi di berbagai kota di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura.
(Tan)