
Oleh: Fadhila Salsabila
YOGHURT ternyata sudah ditemukan sejak tahun 5000 sebelum Masehi di Turki. Awal ditemukannya pun secara tidak sengaja.
Dulu ada cerita tentang seorang gembala yang membawa susu dalam sebuah kantong yang terbuat dari kulit binatang. Ketika pengembala itu membawa kantong-kantong tersebut, kombinasi enzim alami dalam kantong dan panas tubuh memfermentasi susu tersebut.
Hasilnya menjadi makanan yang tebal atau mengental dan bisa dimakan, bahkan tetap segar lebih lama daripada susu. Dengan hasil susu fermentasi yang mengental itulah yang sekarang dikenal dengan sebutan yoghurt.
Yoghurt merupakan hasil fermentasi susu yang dibuat dengan menambahkan bakteri tertentu ke dalam susu, yang kemudian memakan gula (laktosa) dalam susu dan mengubahnya menjadi asam laktat.
Proses inilah yang membuat yoghurt menghasilkan tekstur seperti krim dan kental serta memiliki rasa yang asam. Yoghurt ini dapat dibuat dari susu apa saja namun produksi yoghurt biasanya dominan menggunakan susu sapi.
Disebutkan tadi kalau yoghurt ditemukan di Turki, tetapi ternyata tidak hanya di Turki saja, yoghurt juga terdapat pada salah satu provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Barat yang terkenal dengan kekayaan budaya dan kuliner khas tradisionalnya yang enak dan lezat.
Ada salah satu kuliner makanan tradisonal khas Minang sejenis yoghurt yang mungkin sebagian orang masih asing dengan makanan ini yang biasa disebut dengan “Dadiah”.
Dadiah adalah salah satu makanan tradisional khas Minang yang berasal dari Sumatera Barat. Dadiah ini merupakan sejenis yoghurt yang terbuat dari susu kerbau yang kemudian difermentasi dengan menggunakan ragi atau bakteri asam laktat.
Proses fermentasi ini menghasilkan tekstur seperti krim padat berwarna putih yang mirip dengan yoghurt atau keju cottage, namun dengan rasa yang lebih tajam dan asam.
Dadiah telah menjadi makanan tradisional khas Minang sejak ribuan tahun yang lalu. Pada masa itu, dadiah dihasilkan dengan menggunakan bahan-bahan alami dan teknik yang sederhana. Pada proses pengolahannya, susu kerbau yang telah dimasak dan sudah diberi ragi atau bakteri kemudian dituang ke dalam potongan bambu. Biasanya bambu tersebut berukuran 15-30 cm. Kemudian, bambu-bambu tersebut disimpan dalam lubang-lubang di bawah tanah untuk menghasilkan dadiah yang enak.
Pada proses fermentasi, dadiah sendiri akan mencapai hasil maksimal setelah didiamkan selama 2 malam di dalam tabung bambu yang kemudian menghasilkan sejenis krim padat bertekstur lembut dan memiliki cita rasa yang asam. Dadiah akan masih layak untuk dikonsumsi sampai rentang waktu satu minggu sejak mulai difermentasikan.
Manfaat dadiah bagi kesehatan sangatlah banyak. Selain kaya akan nutrisi seperti protein, kalsium, dan vitamin B, dadiah juga mengandung bakteri, baik yang dapat membantu menjaga kesehatan saluran pencernaan. Selain itu, dadiah juga dipercaya dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi risiko penyakit kronis seperti diabetes dan kolesterol tinggi.
Meskipun dadiah memiliki banyak manfaat, namun ada juga beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengonsumsinya. Misalnya, dadiah yang tidak diolah dengan baik dapat mengandung bakteri berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan makanan. Oleh karena itu, pastikan dadiah yang dikonsumsi benar-benar segar dan diolah dengan baik.
Dahulunya dadiah merupakan makanan favorit pengganti lauk. Tidak itu saja, dadiah juga dijadikan sebagai makanan sampingan. Bentuknya yang mirip agar-agar, selain disantap dengan nasi, biasanya juga disantap bersama potongan cabe muda. Hal ini hampir mirip dengan kebiasaan orang Persia yang memakan susu fermentasi dengan bawang merah dan mentimun. Selain itu dadiah juga dapat digunakan sebagai bahan dalam masakan tradisional seperti rendang dan kalio.
Ampiang Dadiah
Selain digunakan sebagai bahan masakan, dadiah ini juga sering dikonsumsi sebagai makanan ringan atau pencuci mulut yang biasanya disebut “Ampiang Dadiah”.
Ampiang dadiah makanan khas tradisional Minang yang terdiri dari empat bahan yang dicampur menjadi satu sehinggga menciptakan rasa yang nendang dan pecah di mulut saat memakannya karena terdapat perpaduan rasa asam dan manis.
Keempat bahan yang terdapat pada ampiang dadiah ini berupa dadiah, gula aren cair, kelapa parut dan emping. Yang menjadi bahan utamanya sendiri adalah ampiang dadiah sehingga disebut ampiang dadiah.
Ampiang sendiri merupakan beras ketan yang ditumbuk menjadi pipih seperti emping yang kemudian dijemur hingga kering. Penyajiannya, campurkan ampiang dan dadiah lalu tambahkan gula aren cair, kelapa parut dan kemudian disajikan dalam sebuah mangkuk.
Adapun cara membuat ampiang dadiah sangatlah mudah untuk dibuat. Hal pertama yang harus dilakukan rendam emping hingga lunak dan tiriskan. Kemudian kelapa yang sudah diparut diberi sedikit garam setelah itu campurkan emping dan parutan kelapa, sajikan dalam gelas atau mangkuk sebagai lapisan pertama lalu tambahkan dadiah sebagai lapisan kedua kemudian terakhir sirami diatasnya dengan air gula aren.
Kombinasi rasa asam yoghurt khas Minang dadiah ini akan lebih baik ditambahkan dengan sedikit es, agar jadi lebih enak dan segar.
Ampiang dadiah pada umumnya dapat ditemukan di berbagai kota di Sumatera Barat. Seperti Kota Padang, Bukittinggi, dan Padang Panjang.
Secara keseluruhan, dadiah adalah makanan tradisional yang lezat dan sehat, serta memiliki nilai budaya yang penting bagi masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, bagi yang belum pernah mencoba dadiah, sebaiknya mencoba untuk merasakan kelezatan makanan tradisional ini.
Namun, sayangnya, keberadaan dadiah semakin terancam karena sulitnya menemukan susu kerbau segar dan murni. Selain itu, proses pembuatan dadiah juga memerlukan waktu dan kesabaran yang cukup lama, sehingga tidak banyak orang yang masih memproduksinya secara tradisional.
Untuk mempertahankan keberadaan dadiah, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga budaya dan kuliner lokal. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan dukungan dalam bentuk pelatihan dan pengembangan usaha kecil menengah yang memproduksi dadiah secara tradisional. *)
Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand)