
Oleh: Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA
(Guru Besar IPDN / Pakar Otda)
FENOMENA resentralisasi yang kini tampak dalam kebijakan pemerintah harus dilihat secara utuh: apakah ini benar-benar sesuatu yang baru di era Presiden Prabowo, ataukah telah berlangsung sejak masa Presiden Joko Widodo, bahkan sebelumnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Reformasi 1998 sesungguhnya telah memberi mandat yang jelas: otonomi daerah yang nyata di era Presiden Soeharto harus diubah menjadi otonomi seluas-luasnya.
Hal ini kemudian dituangkan ke dalam amandemen konstitusi. Setelah pengalaman 25 tahun Orde Baru yang sangat sentralistik, di mana seluruh keputusan ditarik ke pusat, membuat pelayanan publik lambat dan daerah kehilangan daya gerak.
Untuk menjawab tuntutan itu, dilakukanlah perubahan UUD 1945, khususnya Pasal 18, 18A, dan 18B, yang menegaskan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.
Presiden B.J. Habibie menjadi inisiator dengan lahirnya Undang-Undang Pemda Nomor 22 Tahun 1999, yang memberi kewenangan amat luas kepada daerah. Sehingga, kekuasaan pusat jadi terbatas sekali, yaitu tinggal urusan Hankam, politik luar negeri, moneter dan fiskal, judicial dan agama.
Namun model ini kemudian dikoreksi di era Presiden Megawati Soekarnoputri melalui UU Pemda No. 32 Tahun 2004, agar keseimbangan antara pusat dan daerah tidak jomplang.
Bandul yang Mulai Bergeser
Pada masa Presiden SBY, koreksi terhadap pelaksanaan otonomi daerah kembali dilakukan lewat UU Pemda No. 23 Tahun 2014. Diumbarnya desentralisasi di era sebelumnya telah menimbulkan fenomena “raja-raja kecil” di daerah—kepala daerah yang seolah tidak mengindahkan kebijakan nasional.
Undang-undang baru itu mencoba mengembalikan keseimbangan: mana kewenangan yang harus dipegang pusat, mana yang diserahkan ke provinsi atau kabupaten/kota.
Secara konseptual, pembagian itu cukup adil. Misalnya, pendidikan tinggi diatur pusat karena memerlukan biaya, teknologi, dan kualitas SDM tinggi; pendidikan menengah diurus provinsi; dan pendidikan dasar diserahkan ke kabupaten/kota. Semangatnya jelas: kolaborasi, bukan dominasi.
Namun belakangan, arah kebijakan kembali menunjukkan gejala penarikan kewenangan ke pusat. Banyak urusan publik—seperti perizinan membangun rumah, pertambangan (minerba), pengelolaan sumber daya alam, hingga penunjukan penjabat kepala daerah—kini dikendalikan langsung oleh pusat. Bahkan proses politik lokal, seperti pengangkatan Pj Gubernur atau Bupati, tidak lagi memperhatikan usulan daerah, melainkan suka-sukanya istana.
Kebijakan Terpusat di Era Jokowi dan Prabowo
Presiden Jokowi menjadi eksekutor UU Pemda No 23 Tahun 2014 dengan sejumlah koreksi desentralisasi administrasi.
Namun dalam praktiknya, tampak kecenderungan baru: desentralisasi administrasi justru berubah menjadi resentralisasi program.
Kecenderungan itu berlanjut di masa Presiden Prabowo Subianto, dengan munculnya berbagai program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat (SR), Koperasi Merah Putih, Cek Kesehatan Gratis, dan pembangunan food estate yang seluruhnya dikendalikan dari pusat.
Pemerintah pusat misalnya, membentuk badan-badan pelaksana, menetapkan daerah, membangun sarana dan prasarana, bahkan mengelolanya sendiri dengan perangkatnya. Daerah hanya menjadi pelengkap, bukan pelaku. Seperti menyediakan tanah untuk lokasi SR, atau SPPG nya MBG.
Hal serupa terjadi pada kebijakan pembangunan infrastruktur melalui Instruksi Presiden (Inpres)—jalan daerah, jembatan, dan fasilitas publik kini ditangani langsung oleh kementerian teknis, sementara pemerintah daerah hanya “menerima manfaatnya”.
Inilah yang saya sebut “pembangunan di daerah”, bukan pembangunan daerah. Bedanya halus, tapi mendasar.
Dalam pembangunan daerah, pemerintah daerah adalah subjek yang berinisiatif dan berinovasi; sementara dalam pembangunan di daerah, pemerintah pusat menjadi aktor utama, dan daerah sekadar penonton atau paling banter sebagai figuran.
Dana Transfer yang Menyusut, Ruang Fiskal yang Melemah
Kebijakan penarikan kewenangan ini diperparah dengan pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD). Tahun 2025, misalnya, tercatat sekitar Rp50 triliun dana TKD dikurangi, dan pada 2026 ditetapkan pemotongan mencapai Rp200 triliun. Padahal 80 persen pemerintah daerah masih bergantung pada dana transfer karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka rendah.
Akibatnya fatal: belanja pegawai dan belanja modal menyusut, pelayanan publik bisa terganggu, dan gerak pembangunan daerah bakal melambat.
Ekonomi lokal yang bergantung pada perputaran APBD ikut tertekan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka otonomi daerah tinggal menjadi pasal di konstitusi tanpa makna praksis—sebuah konsep yang mati suri di bawah bayang-bayang sentralisasi.
Efek Politik dan Ancaman Ketimpangan
Kecenderungan resentralisasi juga bisa menimbulkan gejolak politik daerah. Ketidakpuasan terhadap kebijakan top-down dapat memicu instabilitas lokal, yang pada akhirnya berimbas ke kestabilan nasional. Padahal, di seluruh dunia, tren global justru sebaliknya: penguatan desentralisasi.
Negara-negara maju seperti Jepang, Australia, maupun negara berkembang seperti Vietnam dan bahkan Tiongkok pun kini memberi ruang lebih luas bagi pemerintahan lokal untuk mengambil keputusan sendiri. Desentralisasi terbukti mempercepat pelayanan publik, meningkatkan partisipasi warga, dan memperkuat akuntabilitas.
Bukan Menarik Kewenangan, Tapi Membina
Masalah utama bukan pada luasnya otonomi daerah, melainkan pada lemahnya pembinaan dari pusat. Bila ada kepala daerah korup atau birokrasi daerah tidak profesional, solusinya bukan menarik kewenangan mereka, melainkan mendidik, membina, dan memperkuat tata kelola daerah.
Umpamanya dengan melakukan perbaikan sistem rekrutmen kepala daerah agar lahir pemimpin pemda yang kompeten dan berintegritas, bukan “raja kecil” yang menang dengan membeli suara atau mempolitisasi birokrasi. Lalu ketika berkuasa mencari modal balik lewat jual beli jabatan, penyimpangan dalam perizinan dan pengadaan barang dan jasa.
Jika pusat terus menarik kewenangan dengan alasan efisiensi, maka artinya kita sedang mengulang kesalahan sejarah Orde Baru: sentralisasi yang gagal meningkatkan mutu pelayanan publik, karena pengambil keputusan jauh di pusat, dan membuat kebijakan yang aeragam padahal daerah otonom itu beragam. Dasarnya bukan kebutuhan daerah, tapi kehendak pusat. Itu ibarat, orang tua yang salah memberi obat kepada anaknya yang sakit. Diagnosanya keliru, resepnya pun tak tepat.
Kita tidak sedang butuh sentralisasi baru; yang kita butuhkan adalah pemda yang efektif tak korup dengan desentralisasi kuat, sehat, akuntabel, dan produktif di bawah pembinaan pusat. Sebab hanya dengan itulah semangat reformasi 1998 dan amanah konstitusi dapat hidup dalam praktik pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan guna mewujudkan Indonesia Emas 2045. *)























