PADANG, forumsumbar —Ketua DPD RI periode 2009-2014 dan 2014-2016, Irman Gusman hadir dalam acara peluncuran dan bedah buku yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Press, Jumat (18/12), bersama tokoh-tokoh Sumbar lainnya, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Dalam acara yang dilaksanakan secara virtual, melalui Zoom Meeting ini, ada 2 buku yang diluncurkan dan dibedah; yakni “Islam sebagai Dasar Negara, Polemik Natsir versus Soekarno” dan “68 Tahun Melukis di Atas Awan”.
Adapun turut hadir selain Irman Gusman, Prof Fasli Jalal (Mantan Wamendiknas, sekarang Rektor Universitas Yarsi Jakarta), Prof Azyumardi Azra (Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Gamal Abdul Nasser (Dosen Senior Universitas Brunei Darussalam), Basril Djabar (Tokoh Pers Nasional), dan Nurhayati Subakat (CEO Wardah).
Kemudian, Buya Masoed Abidin (Mubaligh dan Pegiat Dakwah Digital), Shofwan Karim Elhussein (Ketua PWM Sumbar), Riki Saputra (Rektor UMSB) dan banyak lainnya. Adapun acara bertajuk “Kajian Islam Jumat Pagi” ini dimoderatori Efri Yoni Baikoeni, yang juga merupakan editor dari buku yang diluncurkan.
Melalui pesan WhatsApp-nya, Irman Gusman mengirimkan bulir-bulir pemikirannya dalam membedah kedua isi buku yang diluncurkan itu kepada forumsumbar.com. Adapun lengkapnya sebagai berikut ;

Pointers Presentasi Irman Gusman
Ini acara yang langka karena UMSB melakukan peluncuran dan bedah buku untuk dua buku sekaligus. Biasanya acara peluncuran buku dimana-mana itu meluncurkan satu judul buku. Tapi pagi ini acara UMSB ini membahas dua buku sekaligus:
1. Islam Sebagai Dasar Negara: Polemik Antara Mohammad Natsir versus Soekarno dan
2. 68 Tahun Melukis di Atas Awan, Memoir Biografi Dr. Shofwan Karim, tokoh Muhammadiyah yang sudah saya kenal dekat selama lebih dari 25 tahun.
Bahkan persahabatan saya dengan Buya Shofwan Karim ini boleh dibilang sangat spesial karena pepatah Inggris katakan, A friend in need is a friend indeed. Sahabat yang datang ketika kita membutuhkan pertolongan adalah sahabat sejati.
Ketika saya berada dalam masalah di Sukamiskin Bandung, berulang kali Buya Shofwan Karim mengunjungi saya. Bahkan Buya Shofwan berdiri di depan pintu pada malam itu, 26 September 2019, ketika saya melangkah keluar dari pintu utama Lapas Sukamiskin untuk pulang ke rumah.
Karena saya cukup lama mengenal Buya Shofwan dari dekat, maka secara jujur dan obyektif saya mau katakan bahwa Sumatera Barat sudah terlalu sempit untuk Buya Shofwan Karim. Sudah saatnya Buya Shofwan bergeser ke Jakarta dan berkiprah dari sana mengingat pengalaman, kematangan, kepemimpinan dan kearifan beliau yang dibutuhkan di tingkat nasional.
Saya tidak tahu apakah karena itu maka bukunya sengaja diberi judul Melukis di Atas Awan. Jadi orang Minang biasanya bilang, Dimana bumi di pijak di situ langit dijunjuang. Tapi tempat berpijak Buya kita ini sudah tinggi sekali di langit, karena dia Melukis di Atas Awan. Itulah sebabnya tadi saya katakan sudah saatnya Buya Shofwan bergeser ke Jakarta.
Dan 68 Tahun itu belumlah tua, menurut standar terbaru yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia /WHO. Justru usia 68 tahun itu adalah usia terbang; karena itulah Buya Shofwan Melukis di Atas Awan.
Sebagai sahabat, saya perlu berkata demikian. Sebab yang mau saya katakan adalah, friendship is unconditionally eternal. Persahabatan itu abadi tanpa syarat.
Pandangan dan pilihan politik boleh saja berbeda, tetapi persahabatan itu abadi sifatnya. Inilah juga yang diteladankan oleh Natsir dan Bung Karno. Mereka selalu berseberangan tetapi tetap bersahabat.
Soekarno sebagai seorang ideolog dan pemikir politik berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara. Sementara Natsir sebagai seorang ideolog reformis muslim dan arsitek “negara Islam moderat” berpandangan bahwa Islam sebagai agama peradaban yang membimbing manusia memasuki alam modern harus disatukan dengan negara.
Bung Karno tidak mau membawa agama di dalam perjuangannya. Ia menganggap cukup dengan nasionalisme saja, karena kalau membawa-bawa agama maka bangsa ini akan bercerai-berai. Tapi Natsir berpendapat bahwa untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat. Mereka berseberangan secara tajam seperti itu.
Meskipun demikian, ketika Soekarno ditangkap, diadili, dan dipenjarakan di Sukamiskin, yang pertama kali menjenguk Bung Karno di penjara itu adalah bukan orang-orang PNI pendukung Bung Karno, melainkan kelompok Natsir yang justru tidak sepaham dengan Bung Karno. Ini pelajaran keteladanan yang sangat berharga buat bangsa kita agar bisa berpolitik dengan hati secara matang dan bijaksana.
Sebab di zaman sekarang, terlalu banyak pemimpin tapi terlalu sedikit kepemimpinan. Terlalu banyak politisi, tapi terlalu sedikit negarawan. Terlalu banyak idola, tapi terlalu sedikit keteladanan. Terlalu banyak pembawa masalah, tapi terlalu sedikit pembawa solusi. Terlalu banyak menggunakan otak dan otot, tapi terlalu sedikit bahkan sangat jarang kita menggunakan hati.
Akibatnya kita seperti hidup di bawah SUTET, Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi. Semua orang tegang. Saling curiga dan berprasangka buruk. Saling hujat dan caci-maki. Berbeda pendapat dianggap sebagai permusuhan dan peperangan.
Kenapa bisa terjadi begini? Karena kita tidak belajar dari sejarah. Coba tengok ke belakang. Meskipun Natsir dan Soekarno berseberangan secara pemikiran dan sikap politik, tetapi terdapat kesamaan keyakinan di antara mereka dalam hal demokrasi.
Natsir menyatakan bahwa Islam adalah ajaran yang paling demokratis. Soekarno pun berkeyakinan bahwa umat Islam dapat memperjuangkan aspirasinya secara optimal dalam suatu negara yang demokratis.
Yang luar biasa dari hubungan dua tokoh besar ini adalah bahwa Soekarno mengagumi Natsir sebagai sosok pendidik generasi muda Islam yang karya tulisnya, sebuah buku berjudul Komt Tot Het Gebed (artinya Marilah Salat), itu dikagumi oleh Soekarno. Sebaliknya, meskipun berseberangan dengan Soekarno, tapi Natsir pernah berkata, “Kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat.”
Dari polemik dua tokoh bangsa ini kita juga dapat memetik pelajaran lain lagi. Bahwa meskipun mereka berdebat tentang hubungan agama dan negara dan tentang dasar negara kita, mereka akhirnya bersepakat untuk tidak menghapus Pancasila sebagai dasar negara; mereka melestarikannya meskipun Natsir mendirikan Masyumi yang menjadi partai Islam terkuat dalam Pemilu 1955, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan.
Sebab tujuan perjuangan Natsir sebetulnya adalah agar nilai-nilai keislaman tidak lantas dilunturkan oleh sekularisme yang sedang merembes ke dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya maka Natsir sangat peduli dan berperan aktif dalam pendidikan keagamaan bagi generasi muda.
Tapi perlu kita catat bahwa apa yang duperjuangkan Natsir itu masih relevan sampai hari ini, dimana sekularisme yang semakin kental itu mengancam dan mengikis keberagamaan kita, khususnya di kalangan generasi muda. Dalam hal ini perjuangan Natsir untuk memanifestasikan nilai-nilai ajaran Islam itu perlu kita lanjutkan, sama seperti melanjutkan perjuangan Soekarno dalam melestarikan Pancasila.
Catatan lain tentang perjuangan Natsir adalah bahwa keberagamaan kita perlu tampak dalam realitas sehari-hari, bukan sekadar identitas belaka. Bahkan dalam mengamalkan Pancasila, bagaimana sila Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial, misalnya, bisa diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Jadi, kalau saya mencoba merekonsiliasikan pemikiran Natsir dan pemikiran Soekarno — dua kutub yang bertolak belakang itu — maka yang mau saya katakan adalah: Kita harus bisa berpancasila sereligius mungkin dan beragama sepancasilais mungkin. Artinya: Mengamalkan agama di negara yang berdasarkan Pancasila dan mengamalkan Pancasila di negara yang penduduknya menjunjung tinggi ajaran agama.
Jadi, tugas kita bukan mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara, atau memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Hal itu sudah FINAL. Sebab Pancasila sudah mewakili nilai-nilai luhur dari semua agama di negeri ini bahkan mewakili jatidiri bangsa kita. Tugas kita adalah melakukan introspeksi, sudah sampai sejauh mana kita mengamalkan lima sila itu di dalam realitas kehidupan kita sebagai bangsa; kemudian melakukan koreksi dengan menggunakan ajaran agama dan falsafah Pancasila sebagai pedoman.
Dengan begitu maka POLEMIK antara Natsir dan Soekarno dapat kita rekonsiliasikan menjadi SINERGI antara nilai-nilai agama dan nila-nilai kebangsaan kita yang terkandung di dalam Pancasila. Jadi, intinya, kita perlu mengubah POLEMIK menjadi SINERGI.
Demikian pesan singkat dari saya…
Jakarta, 18 Desember 2020
IRMAN GUSMAN
Itulah pemikiran yang disampaikan Irman Gusman pada webinar yang diadakan oleh UMSB Press, dalam peluncuran dan bedah buku yang membahas masalah agama dan kebangsaan.
(Ika)






















