
Oleh: Irdam Imran
(Pengamat Sosial dan Politik)
KETIKA agama dijadikan komoditas bisnis, kita teringat pada firman Allah: “Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit…” (QS. Al-Baqarah: 41).
Ayat ini mengingatkan agar agama tidak diperdagangkan demi kepentingan sesaat.
Ketika pendidikan dikomersialisasi, kita teringat sabda Rasulullah ﷺ: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
****
Ilmu adalah cahaya, bukan ladang bisnis.
Dan ketika sumber daya manusia diperas, kita patut mengingat hadis Rasulullah ﷺ: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).
Pekerja bukanlah budak sistem, melainkan manusia bermartabat yang harus dihormati.
Tiga fenomena ini menggambarkan arah kebijakan publik yang menyimpang. Agama, pendidikan, dan tenaga kerja sejatinya adalah pilar moral, pilar ilmu, dan pilar kesejahteraan rakyat.
Namun bila dijadikan komoditas, yang lahir hanyalah ketidakadilan, kesenjangan, dan hilangnya ruh kebangsaan.
****
Supremasi Konstitusi: Benteng Rakyat
Masalah bangsa kita sering berakar pada supremasi kepentingan sempit: partai, pejabat, bahkan oligarki. Padahal yang seharusnya berlaku adalah supremasi konstitusi.
Konstitusi kita menegaskan negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika UUD 1945 dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan, maka rusaklah sendi kehidupan berbangsa.
Supremasi konstitusi bukan sekadar jargon hukum, tetapi perwujudan dari niat luhur agar bangsa ini tidak kehilangan arah.
****
Falsafah Minangkabau: Adat dan Syarak
Bagi masyarakat Minangkabau, prinsip ini sejalan dengan falsafah agung:
“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”
Adat dan syarak menuntun agar setiap kebijakan berpijak pada moral, bukan hawa nafsu. Nilai ini memberi pesan bahwa supremasi konstitusi tidak boleh tercerabut dari akar budaya dan ruhani bangsa.
Buya Hamka pernah menulis: “Jika hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Jika bekerja sekadar bekerja, kera pun pandai bekerja.”
Pesan itu mengingatkan kita: berbangsa dan bernegara hanya bernilai bila dijalankan dengan idealisme, bukan sekadar rutinitas.
Fethullah Gülen pun berpesan: “Masyarakat hanya akan maju jika ruhaniyah dan akhlak menjadi fondasi dari seluruh gerak ekonomi dan politik.”
Dengan kata lain, supremasi konstitusi bukan hanya perintah hukum, tetapi juga panggilan moral dan panggilan iman.
****
Jalan Ruhani dan Jalan Kebangsaan
Supremasi konstitusi adalah jalan ruhani sekaligus jalan kebangsaan.
Agama harus kembali menjadi cahaya moral, bukan alat politik.
Pendidikan harus kembali menjadi jalan mencerdaskan bangsa, bukan ladang bisnis.
Tenaga kerja harus kembali dihormati sebagai martabat manusia, bukan komoditas.
Saatnya elite bangsa menundukkan ego dan kepentingannya di hadapan konstitusi. Hanya dengan taat konstitusi, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang aman, makmur, dan bermartabat. *)
————–
Tentang Penulis
Irdam Imran, alumni SMA Negeri 2 Bukittinggi, FISIP Unpar (1985), dan Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Unas (2007), pernah berkarier sebagai birokrat parlemen Senayan (1990–2018), kini aktif sebagai pemerhati sosial dan politik