
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan, Pengurus Partai Ummat Cilodong Depok)
DATA terbaru BPS Februari 2025 menunjukkan kesenjangan upah buruh yang mencolok. Rata-rata upah buruh nasional Rp 3,09 juta, namun di DKI Jakarta mencapai Rp 4,8 juta. Sementara di Lampung, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur hanya sekitar Rp 2,3–2,4 juta. Jurang ini menjadi bukti bahwa pembangunan kita masih jauh dari keadilan sosial.
Konstitusi kita, khususnya alinea keempat Pembukaan UUD 1945, telah memberi arah yang jelas: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial. Artinya, negara tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan neoliberal, melainkan wajib memastikan distribusi hasil pembangunan secara adil.
Rezim Presiden Prabowo Subianto memiliki tanggung jawab historis untuk menjaga supremasi konstitusi. Pertumbuhan ekonomi tanpa distribusi hanya memperlebar kesenjangan, melemahkan daya beli rakyat, dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial.
Ada dua langkah penting yang harus diutamakan. Pertama, distribusi berkeadilan melalui kebijakan yang berpihak pada pekerja, petani, nelayan, dan UMKM. Kedua, subsidi sosial sebagai instrumen konstitusional, bukan politik elektoral. Subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan bukanlah beban negara, melainkan hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi.
Dengan kembali ke amanah UUD 1945, pemerintahan Prabowo tidak hanya melanjutkan pertumbuhan, tetapi juga mengembalikan arah pembangunan menuju cita-cita kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. *)