
Oleh: Era Nurza
(Sastrawati/Penyair/Penulis)
LANTAI Dasar Zona B Gedung Kebudayaan Sumbar di Jl Samudera Padang, Selasa 28 Oktober 2025, dari sore hingga malam, bergemuruh oleh kata dan makna. Dimana dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97, sebuah acara pentas puisi bertajuk “Geliat Pemuda Membaca Indonesia” digelar penuh semangat dan jiwa kebangsaan.
Acara ini menjadi saksi bahwa denyut sastra di Ranah Minang belum padam, ia masih bernafas, bergerak dan berjuang menegakkan marwah kata di tengah derasnya arus zaman.
Acara ini diprakarsai oleh dua sosok yang tak asing lagi di dunia seni dan literasi Sumatera Barat: Jefenil, SH dan Ilhamdi Sulaiman, yang dikenal luas dengan nama Boyke Sulaiman. Keduanya hadir sebagai penggerak yang menolak diam di tengah pandangan bahwa sastra telah kehilangan gaungnya.
Melalui pentas ini, mereka menyalakan kembali obor semangat para penulis, pembaca, dan penikmat puisi di Sumbar untuk kembali percaya bahwa sastra masih hidup, dan terus berjuang melawan waktu.
Acara dibuka dengan penuh khidmat melalui sambutan dari Ketua Pelaksana Jefenil, dan dalam pidatonya, ia menyampaikan pesan yang menggugah kesadaran banyak pihak.
Dengan suara yang lantang namun bergetar oleh rasa cinta pada dunia sastra, Jefenil berkata bahwa masih ada stigma yang beredar bahwa puisi dan sastra di Sumbar dianggap tidak bergerak, tidak mendapat dukungan dari pemerintah, bahkan dari senimannya sendiri.
“Kita berkumpul di sini bukan hanya untuk membaca puisi,” ujar Jefenil penuh semangat. “Kita hadir untuk membuktikan bahwa kata masih bergetar, puisi masih bernyawa, dan sastra Sumbar tidak pernah mati. Ia hanya menunggu disentuh kembali oleh hati yang percaya.”

Suasana ruang pun berubah. Tepuk tangan para hadirin menggema, membangunkan semangat yang lama terpendam. Satu per satu, pembaca puisi mulai mengambil tempat di panggung sederhana namun sarat makna itu.
Sebanyak 28 pembaca puisi dari berbagai latar belakang tampil memaknai tema besar acara: Geliat Pemuda Membaca Indonesia. Mereka terdiri dari seniman, budayawan, dosen, wartawan, akademisi, guru, mahasiswa, hingga siswa, yang semuanya berbaur dalam satu semangat: cinta pada Indonesia dan kata.
Setiap bait yang dibacakan adalah potongan jiwa. Ada yang bergetar lirih membawa tema perjuangan, ada yang bergemuruh membakar nasionalisme, ada pula yang lembut menyentuh sisi kemanusiaan. Dari mikrofon sederhana di Gedung Kebudayaan Sumbar itu, gema puisi menjelma menjadi suara bangsa suara yang mengingatkan bahwa pemuda bukan hanya pewaris sejarah, melainkan penulis babak baru kebangsaan.
Puncak acara terasa semakin hidup saat Dr Endut Akhadiat, MHum, naik ke podium membawakan orasi Sumpah Pemuda. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa Sumpah Pemuda tidak hanya layak dikenang, tetapi juga harus dihidupi. Ia mengajak generasi muda untuk tidak hanya membaca Indonesia melalui buku dan berita, tetapi juga melalui nurani dengan memahami luka, harapan, dan perjuangan bangsanya sendiri.
“Membaca Indonesia berarti mencintai rakyatnya, menjaga bahasanya, dan menulis masa depannya,” seru Dr Endut, disambut tepuk tangan meriah.
Rangkaian acara dimeriahkan dengan musikalisasi puisi oleh kelompok musik Iko Bana, yang menambah suasana menjadi semakin syahdu dan heroik. Petikan gitar, denting biola, dan lantunan vokal berpadu dengan kata-kata yang menggugah, menghidupkan kembali semangat sumpah pemuda dalam bentuk yang lebih modern dan menyentuh.

Acara ini bukan sekadar panggung. Ia adalah manifestasi perlawanan terhadap diam, bukti bahwa sastra masih memiliki tempat di tengah masyarakat digital, bahwa kata tidak pernah usang, hanya menunggu ruang untuk kembali bersuara.
Di akhir acara, suasana hangat melingkupi ruangan. Para pembaca puisi saling berpelukan, menyalami, dan berbagi cerita. Di mata mereka, ada cahaya kecil yang sama cahaya keyakinan bahwa puisi tetap punya arti, dan pemuda masih punya api untuk menyalakan bangsa ini.
Pentas puisi Geliat Pemuda Membaca Indonesia bukan hanya perayaan seni kata, tetapi juga gerakan moral dan budaya. Di tengah dunia yang semakin cepat dan dingin, puisi menjadi jeda: ruang untuk berpikir, merasakan, dan mencintai tanah air dengan cara yang paling manusiawi.
Seperti semangat Sumpah Pemuda 97 tahun lalu, acara ini mengingatkan kita bahwa persatuan dan semangat juang tidak hanya bisa dinyanyikan dalam lagu kebangsaan, tetapi juga dapat diucapkan dalam bahasa yang paling indah bahasa puisi.
Malam itu, di lantai dasar Gedung Kebudayaan Sumbar, Indonesia kembali dibaca dengan kata, dengan jiwa, dengan cinta yang tak lekang oleh waktu. *)























