
JAKARTA, forumsumbar —– Kasus keracunan makanan massal yang terkait dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus meluas di berbagai daerah dan kini dicatat sebagai salah satu peristiwa luar biasa dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Ribuan siswa menjadi korban, memicu kritik tajam dari masyarakat, akademisi, aktivis pendidikan, hingga organisasi profesi pers.
Berdasarkan catatan Badan Gizi Nasional (BGN), sepanjang Januari hingga 25 September 2025 tercatat 70 kasus keamanan pangan dengan total 5.914 korban. Puncak kasus terjadi pada Agustus (1.988 korban) dan September (2.210 korban).
Beberapa daerah yang mengalami kasus terbesar antara lain Bandar Lampung, Lebong (Bengkulu), Bandung Barat (Jawa Barat), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), dan Kulon Progo (DI Yogyakarta). Namun, alih-alih memberi jawaban substantif, pernyataan pimpinan BGN justru memicu kontroversi baru.
Pernyataan BGN Disorot Publik
Ketua BGN Prof Dadan Hindayana menyatakan kasus 4.711 keracunan makanan harus dilihat secara proporsional dibandingkan 1 miliar porsi yang sudah didistribusikan.
Meski ia tidak secara eksplisit menyebutnya wajar, framing data tersebut dianggap meremehkan korban.
Sikap itu memantik kritik keras. Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menyebut pernyataan Dadan tidak berempati dan menunjukkan rendahnya kualitas kepemimpinan.
“Satu orang saja keracunan sudah masalah. Ribuan siswa keracunan itu bencana luar biasa. Kepala BGN seharusnya mundur, bukan sibuk membela diri,” tegas Wilson dalam keterangannya, Minggu (28/9/2025).
Wilson juga menyoroti logika perbandingan yang digunakan Dadan.
“Jumlah korban seharusnya dibandingkan dengan penerima manfaat, bukan total porsi makanan. Kalau berpikirnya seperti ini, saya heran. Beliau profesor doktor, kok logikanya bisa seburuk itu?” ujarnya.
Guru Jadi “Budak Program”
Kritik terhadap MBG juga datang dari kalangan guru. Andrimar, SPd, MPd, CPS, guru SMPN 1 Rambah, Rokan Hulu, Riau, melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dalam suratnya, ia menyebut para guru kini diperlakukan layaknya “budak program”. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga harus membagikan makanan, mengumpulkan rantang, hingga mengganti jika hilang.
Lebih ironis, ada kepala daerah yang mewajibkan guru mencicipi makanan MBG sebelum diserahkan ke siswa.
“Jadi kami ini dijadikan apa? Tumbal racun? Tikus laboratorium? Kalau mati, tinggal buang ke tong sampah?” tulis Andrimar.
Ia juga mengkritik alokasi anggaran MBG yang menyedot 44% dana pendidikan dari APBN, padahal mestinya difokuskan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan fasilitas pendidikan.
Kritik dari Penggiat Pendidikan
Setiawan Agung Wibowo, anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI), menilai sejak awal ide MBG sudah keliru. Menurutnya, tidak semua anak sekolah membutuhkan bantuan makan.
“Ada yang butuh, tapi jumlahnya kecil. Itu saja yang disasar. Kalau untuk stunting, itu salah. Stunting dicegah sejak ibu hamil, bukan dengan memberi makan anak sekolah,” tegasnya.
Agung menyarankan program dijalankan bertahap dan berbasis riset, misalnya dimulai di lima kabupaten yang benar-benar membutuhkan, lalu diperluas secara terukur setiap tahun.
Ia juga menilai BGN tidak melibatkan ahli gizi secara penuh, sehingga kebijakan terkesan tergesa-gesa. Lebih jauh, ia menegaskan penggunaan anggaran pendidikan untuk MBG melanggar UU Sisdiknas 2003.
Jurnalis senior Irwan Siswanto menambahkan, kelemahan utama program MBG terletak pada perencanaan dan eksekusi.
“Persiapan di lapangan buruk, eksekusi tergesa-gesa, sehingga menimbulkan keruwetan. Dampaknya bukan hanya ribuan korban, tapi juga trauma psikologis bagi siswa terhadap makanan sekolah,” ujarnya.
Evaluasi Menyeluruh Mendesak
Berbagai kritik di atas memperlihatkan bahwa MBG bukan sekadar soal distribusi makanan, melainkan juga soal desain kebijakan publik yang tergesa-gesa, minim riset, dan tidak transparan.
Kasus keracunan massal ini seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk menghentikan sementara, mengevaluasi total, dan memodifikasi program agar tepat sasaran, aman, dan tidak menambah beban tenaga pendidik.
Jika tidak, program yang semula diniatkan untuk memperbaiki kualitas gizi siswa bisa berubah menjadi bencana kebijakan yang menodai dunia pendidikan Indonesia.
Program MBG Perlu Dievaluasi Total
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA, menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan ramai menuai sorotan publik lahir dari kebijakan yang tidak berbasis riset empirik dan minim transparansi.
Menurutnya, kebijakan tersebut lebih bersifat top down dan dibentuk di “belakang meja” tanpa melibatkan banyak pihak yang berkompeten.
“Sebelumnya, menurut saya, tidak terdengar ada problem serius soal anak-anak sekolah kelaparan atau pingsan karena tak sarapan pagi. Coba periksa media,” ujarnya.
Sebaliknya, Prof Djo menilai masih banyak masalah mendasar di dunia pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas, seperti infrastruktur sekolah yang rusak, akses jalan dan jembatan menuju sekolah yang buruk, ketiadaan guru, hingga honor tenaga pengajar yang tidak layak.
“Anak pintar karena guru dan tempat belajar yang nyaman, bukan hanya persoalan gizi,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal fasilitas perpustakaan sekolah yang masih minim koleksi, serta buku-buku yang sudah usang. Dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak memadai, menurutnya, perbaikan gizi seharusnya tidak ditempatkan sebagai prioritas utama dibanding kebutuhan infrastruktur klasik pendidikan.
Evaluasi dan Opsi Kebijakan
Menanggapi kasus luar biasa keracunan makanan yang terjadi di sejumlah daerah, Prof Djo menyarankan pemerintah segera menghentikan sementara pelaksanaan program MBG dan melakukan evaluasi total.
“Stop dulu. Lakukan evaluasi kebijakan total. Hasilnya nanti bisa berupa modifikasi kebijakan atau bahkan penghentian (terminasi),” kata Prof. Djo.
Jika program tetap dilanjutkan, ia menyarankan modifikasi skema distribusi. Misalnya, bukan dengan membagikan makanan secara massal, melainkan melalui mekanisme kantin sekolah atau pemberian bantuan langsung tunai.
“Model kirim ke rekening langsung. Itu lebih efektif,” ujarnya, meskipun ia juga mengakui bahwa potensi kebocoran pada skema subsidi uang tunai tetap perlu diantisipasi.
Prof Djo menekankan bahwa kebijakan pendidikan harus dirumuskan dengan memperhatikan data lapangan, bukan sekadar asumsi di tingkat pusat.
Menurutnya, persoalan mendasar yang berkaitan dengan kualitas pendidikan, seperti ketersediaan guru, sarana belajar, dan infrastruktur sekolah, seharusnya menjadi pijakan utama dalam merancang kebijakan.
“Jangan sampai semangat membantu anak-anak justru menimbulkan masalah baru yang lebih serius,” pungkasnya.
(R/Beng Aryanto/Wiztian Yoetri)