
Oleh: Aisah Sulia Fitri
DI NAGARI ABAI, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, terdapat sebuah rumah gadang yang ruangannya mencapai 21 ruangan. Masyarakat sering menyebutnya sebagai Rumah Gadang 21 Ruang. Selain itu Kabupaten Solok Selatan dijuluki sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang, karena adanya Rumah Gadang 21 Ruang, serta banyaknya rumah gadang yang terdapat di kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Kerinci Jambi ini.
Bangunan rumah gadang terpanjang tersebut sudah termasuk ke dalam salah satu situs cagar budaya dan diwacanakan masuk ke dalam rekor MURI (Museum Rekor Indonesia).
Pada zaman dahulu, masyarakat di Nagari Abai masih sangat sedikit, bangunan belum ramai dan masih banyaknya binatang buas yang menjadi ancaman. Oleh karena itu masyarakat dan pemuka adat bermusyawarah, hasilnya masyarakat sepakat untuk mendirikan sebuah rumah gadang yang dapat menampung banyak keluarga, agar lebih aman dan dapat menjalin kedekatan yang lebih erat antar keluarga.
Dalam proses pembuatan rumah gadang diselipi sebuah warisan budaya yang bahkan sampai sekarang masih ada, yaitu batombe.
Menurut cerita orang tua-tua dulu, batombe adalah sebuah kesenian berbalas pantun antara ibu-ibu yang memasak di dapur untuk memberikan semangat kepada laki-laki yang bekerja membangun rumah gadang.
Namun seiring berjalannya waktu, batombe kini memiliki cakupan yang lebih luas. Tidak ada yang tahu kapan tradisi batombe lahir, tetapi cerita yang berkembang di masyarakat tradisi ini muncul ketika pembangunan rumah gadang, dimana masyarakat bergotong royong.
Saat sedang mengambil kayu ke hutan untuk kebutuhan pembangunan rumah gadang, akan tetapi kayu sudah ditebang tidak bisa diangkat.
Dalam kondisi pasrah, perempuan yang bertujuan memasak secara spontan mereka berpantun dan kemudian dibalas oleh para pekerja laki-laki. Kemudian kayu yang tidak bisa digeser tiba-tiba bisa bergeser dan dengan mudah dipindahkan ke lokasi pembangunan rumah gadang.
Sementara ada versi lainnya, menurut cerita masyarakat Nagari Abai dulu, mulanya ingin menebang batang pohon, tetapi tidak bisa ditarik. Tapi setelah kerbau disembelih pohon tersebut bisa ditarik dengan mudah.
Menurut sumber yang ditemukan, rumah gadang itu kepunyaan Datuak Simajolelo suku Melayu Sigintir yang hanya digunakan sebagai hunian beberapa waktu saja, untuk selanjutnya digunakan untuk acara adat, pernikahan, pengangkatan penghulu, dan kepentingan suku.
Rumah gadang tersebut juga masih ada kaitannya dengan Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu di Muara Labuh. Dalam proses pembuatan rumah gadang inilah disisipi sebuah warisan budaya yang bahkan sampai sekarang masih ada, ialah batombe. Kesenian berbalas pantun antara perempuan dan laki-laki saat acara pernikahan atau baralek.
Batombe sendiri berasal dari kata tombe atau tonggak. Tombe menurut bahasa orang abai memiliki tiga makna, yaitu; tiang atau tegak, musyawarah atau mufakat, bersatu. Oleh karena itu, batombe masyarakat menjadi bersatu, dan bekerja sama.
Batombe diiringi dengan irama musik yang gembira. Batombe adalah ciri khas dari Nagari Abai dan hanya ada di nagari tersebut. Batombe ialah pantun yang dinyanyikan antara laki-laki dan perempuan saat acara pernikahan atau baralek yang dilakukan di rumah gadang.
Tidak ada batas usia yang bisa melakukan kesenian ini. Batombe merupakan ungkapan perasaan dan perjalanan hidup, seperti menceritakan tentang percintaan, tingkah laku, kebaktian dan lain-lain.
Sebelum tradisi batombe dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan penyembelihan seekor kerbau atau sapi, jika pelaksanaan tradisi ini tanpa menyembelih hewan dianggap melanggar aturan atau berutang secara adat.
Alat musik yang dipakai adalah rebab, gendang, dan talempong. Ketiga alat musik tradisional itu digesek, ditabuh, dan dipukul dengan cepat mengikuti irama dendang dan tarian yang dibawakan oleh para pemain batombe.
Pertunjukan biasanya dimulai setelah pembacaan pantun pembukaan oleh penghulu (datuk), lalu dilanjutkan oleh para pemain batombe yang saling berbalas pantun menggunakan bahasa Minangkabau dialek setempat.
Salah satu teks batombe yaitu:
Lah lamo indak ka Batanghari
Ka Abai malah kito kini
Kok lai amuah samo bajanji
Kariang lauiktan kito nanti
Makna dari teks di atas adalah ungkapan ikrar kesetiaan antara dua orang yang saling jatuh cinta.
Batombe dilakukan secara bergantian. Pertama dilakukan oleh laki-laki, kemudian disusul oleh perempuan. Usia para pemain sendiri tidak memiliki batasan tertentu, syaratnya hanyalah mahir menggubah pantun saja.
Para pemain batombe terdiri atas laki-laki dan perempuan yang duduk membentuk formasi lingkaran. Satu orang laki-laki lagi berada di tengah lingkaran sebagai pedendang. Kemudian mereka berdiri, melakukan gerakan berputar dan kemudian berbalik, tetapi tetap dalam bentuk lingkaran sambil berdendang.
Gerakan penari laki-laki sesekali memukul bagian celananya yang komprang dengan kedua tangan, seolah bertepuk tangan sehingga menimbulkan sulingkaran.
Kesenian batombe umumnya dilaksanakan saat mengisi acara perhelatan, yang bertanggungjawab dalam kesenian itu adalah orang yang melaksanakan acara.
Pelaksanaan acara disebut sipangkalan. Tugas sipangkalan yaitu mempersiapkan segala pertunjukan, dari tempat hingga meminta izin ke penghulu. Kesenian ini tidak bisa dipelajari dari materi akan tetapi dengan praktik dari kebiasaan melihat pertunjukan batombe.
Sipangkalan juga menyiapkan peralatan yang dibutuhkan saat melakukan kesenian tradisional batombe. Agar acara berjalan dengan lancar, memerlukan persiapan yang matang yaitu dengan rapat antara keluarga, mengundang Rajo Tigo Selo, alim ulama, cadiak pandai untuk meminta izin melaksanakan acara. Pertemuan itu disebut dengan duduak urang tuo.
Menurut pendapat penulis hingga saat ini masyarakat Nagari Abai masih menjaga dan melestarikan salah satu tradisi lisan Minangkabau, dengan cara menjadikan batombe sebagai media hiburan seperti pesta pernikahan, pengangkatan datuak, festival kebudayaan, dan ajang promosi pariwisata daerah. *)
Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand)