
“KOPI PERSAHABATAN DAN LABIRIN KEHIDUPAN”: Antologi Puisi – Editor Leni Marlina
/1/
KOPI PERSAHABATAN DAN LABIRIN KEHIDUPAN
Puisi: Leni Marlina
(UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)
Takdir menyatukan kita,
dari secangkir getir
di meja kayu tua yang sabar,
menadah luka tanpa bertanya asalnya.
Kau bukan penyelamat,
aku pun tak minta diselamatkan.
Kita hanya dua retak
yang tahu caranya diam
tanpa membongkar tangis.
Kopi perlahan mendidih,
seperti rindu yang enggan pulang,
doa yang malu-malu
menyentuh langit bisu.
Dalam uap itu,
kulihat bayangmu—tak pernah benar-benar pergi.
Persahabatan kita:
sunyi yang tak menuntut makna,
jeda yang tak pernah lelah
menjadi pelabuhan jiwa.
Jika hidup ini labirin,
hadirmu adalah penanda:
aku belum sepenuhnya hilang.
Dan saat cahaya dunia padam,
aroma kopimu tetap jadi kompas,
bagi luka-luka
yang belum sempat pulih.
Kelak bila segalanya lenyap,
malaikat pun tahu,
pahit yang kita teguk
adalah sejarah persahabatan dan ketabahan
yang tak sempat kita kisahkan.
Victoria, Australia, 2011
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/2/
MARI JAGA PERSAHABATAN SELAMANYA
Puisi: Rajesh Sharma
(PPIPM-India, Poetry-Pen International Community: PPIC, ACC Shanghai Huifeng Literary International Association: ACC SHILA)
Penerjemah (Inggris-Indonesia):
Leni Marlina
Sahabat sepertimu,
langka dan tulus,
Harta kenangan—
lama dan baru—
yang terus menyusul.
Lewat tawa dan air mata masa silam,
Kita bangun kisah, erat dan dalam.
Di kala gelap,
kaulah cahaya terang,
Bahumu tempatku berteduh, siang dan malam panjang.
Persahabatan kita—anugerah sejati,
Permata langka yang kutemukan di hati.
Setiap senyum kian menguatkan ikatan,
Menembus badai dan segala cobaan.
Inilah perayaan cinta persahabatan sejati,
Untukmu, untukku,
dan tali persahabatan yang tak putus.
Mari kita angkat tangan, bersorak riang,
Untuk persahabatan kita yang semakin kuat
kian dekat dan tenang.
Semoga ikatan ini tumbuh, tak lekang dimakan waktu.
Selamat Hari Persahabatan,
untuk para sahabat yang tak pernah pergi!
3 Agustus 2025
Hanumakonda District, Telangana state, INDIA
—————————
Tentang Penyair: Rajesh Sharma
Rajesh Sharma adalah seorang penyair dwibahasa asal Telangana, India. Ia telah menerbitkan buku puisi berbahasa Inggris berjudul “Hey Honey”.
Karya-karyanya kerap mewarnai berbagai antologi internasional. Selain menulis, ia mengabdi sebagai Junior Assistant di Sekolah ZPHS B Shayampet, Distrik Hanumakonda, Negara Bagian Telangana, India.
/3/
TEMAN NGOPI
Puisi: Leni Marlina
(UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)
Kita tak pernah sepakat soal takaran gula,
tapi kita selalu menyeduh waktu bersama—
dalam cangkir-cangkir
yang retaknya saling kita tutupi
dengan tawa yang nyaris percaya diri.
Kau tahu, aku tak butuh penceramah pagi.
Aku hanya butuh seseorang
yang rela menjadi suara latar
saat pikiranku jadi ruang gema,
dan dunia menaruh aku
di pojok paling sunyi dari hidupku sendiri.
Kau tak datang membawa nasihat
atau cerita sukses yang kadang membosankan.
Kau datang membawa dirimu—
yang juga lelah,
juga terluka,
tapi memilih duduk
bersama seseorang yang sedang limbung
agar limbung itu tidak jadi jatuh.
Kopi kita tak pernah sempurna.
Kadang terlalu pahit,
kadang keburu dingin karena cerita terlalu panjang.
Tapi kurasa,
justru di situlah maknanya:
kau hadir bukan untuk menghangatkan kopi,
tapi untuk tidak pergi
saat rasa itu tak bisa dibaiki.
Teman ngopi adalah mereka
yang tahu kapan harus bicara,
dan kapan cukup menjadi napas
di seberang meja kayu
yang menghafal semua rahasia
tanpa pernah membocorkannya.
Akankah kita menjadi teman ngopi selamanya?
Victoria, Australia, 2011
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/4/
SECANGKIR KOPI
Puisi: Zulkifli Abdy
(PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Aceh, KEAI)
Ketika terjaga di punggung pagi
secangkir kopi itu telah basi
Yang tersisa hanya ilusi
tentang suatu negeri
Yang masih saja
tertidur pulas
beralaskan
mimpi,
Oh.
Beranda, 4 Agustus 2025
—————————-
Tentang Penulis: Zulkifli Abdy
Zulkifli Abdy merupakan seorang penulis senior dan penyair, berasal dari Jambi dan menetap di Aceh sejak tahun 1970. Lulusan Ilmu Komunikasi, ia menekuni dunia kepenulisan secara autodidak sejak masa muda.
Karya-karyanya, baik berupa artikel maupun puisi, mencerminkan semangat sastra yang mendalam. Bagi Zulkifli, menulis bukan sekadar profesi—melainkan sarana untuk mencurahkan perasaan, menggantikan halaman-halaman buku harian pribadi, tempat ia menuangkan pikiran dan pengalaman dengan penuh ketulusan.
/5/
KOPI DAN LABIRIN KEHIDUPAN
Puisi: Leni Marlina
(UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)
Kau duduk di sudut pagi
dengan kopi yang tak lagi mengepul,
dan aku tahu—
bukan dinginnya yang menggigilkan jiwamu,
melainkan dunia
yang terus berputar tanpa arah,
tanpa pernah menengok siapa yang tertinggal
di tepi-tepi sunyi.
Kau pernah berbisik lirih,
“hidup ini labirin yang tak ramah,”
dan aku tidak membantah.
Aku hanya diam,
menyaksikan bagaimana matamu
menggali celah
di antara dinding-dinding tak bernama
yang dibangun oleh luka dan kehilangan.
Tapi dengarkan aku,
kopi itu—meski pahit—
masih kau genggam erat.
Itu bukan kebetulan.
Itu adalah tanda
bahwa bagian terdalam dari dirimu
masih percaya pada pagi,
meski langit tak selalu biru.
Kau adalah manusia—
bukan jawaban,
bukan arah mata angin,
melainkan pertanyaan yang berjalan
melewati kabut,
melewati sunyi,
dengan langkah tak pasti,
tapi jujur adanya.
Dan tahukah kau?
Labirin itu bukan kutukan.
Ia adalah medan tempat
jiwa-jiwa seperti milikmu
belajar mendengar tanpa suara,
belajar memaafkan yang tak meminta ampun,
dan belajar mencintai luka
yang tak sempat diberi nama.
Tuhan tak menjanjikan jalan lurus.
Ia hanya menitipkan secangkir kopi
dengan pahit yang wajar,
dan hangat yang perlahan menghilang—
agar kau tahu,
bahwa bahkan dalam kesuraman,
masih ada sesuatu yang bisa dipeluk.
Jadi duduklah sebentar,
biarkan ampas itu tenang,
dan saat kau siap,
lanjutkanlah perjalanan—
bukan untuk keluar,
tapi untuk berdamai
dengan siapa pun
yang kau temukan di dalam dirimu sendiri.
Dan saat senja akhirnya datang,
dengan ampas di dasar dan hangat yang telah pergi,
kau akan tahu:
hidup tak pernah dimaksudkan untuk lurus.
Kadang, yang paling berliku
adalah cara Tuhan menyeduh
jiwa yang paling dalam,
agar jiwamu tetap hidup
meski hidup sepahit empedu.
Victoria, Australia, 2011
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/6/
DALAM LABIRIN KEHIDUPAN
Puisi: Nita Yeni Asmara
(Komunitas Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat: PPIPM-Indonesia, Satu Pena – Sumbar)
Di balik tirai gelap malam,
tersembunyi jiwa yang tengah berjuang,
menyusuri jalan berliku,
tempat harapan kerap terbang,
dan impian yang pupus.
Setiap langkah, derita mengintai,
air mata tak henti mengalir,
bagai hujan di tengah badai,
membasuh luka yang tak kunjung kering,
perjalanan penuh tanya.
Kekecewaan, sahabat setia,
mengaku di setiap detik,
meninggalkan jejak dalam,
membentuk ruang hampa di hati,
seakan dunia tak lagi bersahabat.
Namun, di balik derita yang membara,
ada secercah cahaya yang bersinar,
secercah harapan di ujung jalan, meski kecil, takkan sirna,
menjadi penunjuk jalan di kala gelap.
Pada angin, ia berbisik, “Teruslah berjuang, meski lelah,”
karena hidup adalah karya,
tercipta dari luka dan air mata,
menjadi indah, meski penuh warna.
Dalam labirin ini, aku bertahan,
menemukan makna di setiap kesakitan,
memeluk diriku, merengkuh perasaan,
karena setiap detak jantung ini,
adalah bukti bahwa aku masih ada.
Bukittinggi, Sumatera Barat,
2015
——————————–
Tentang Penulis: Nita Yeni Asmara
Nita Yeni Asmara merupakan alumni Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNP, mantan aktivis HIMA, BEM FBS UNP serta Pernah menjadi Koordinator Wilayah 1 ILMIBSI (Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Budaya dan Sastra Se-Indonesia) yang menyukai dunia penulisan dan sastra.
Sekarang Nita mengabdikan diri menjadi seorang guru SD di Palembayan, Agam, Sumtera Barat. Selain itu Nita juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan mempunyai organisasi Sosial yang bernama “AKATSUKI”.
/7/
AROMA KOPI DI LABIRIN SENJA
Puisi: Leni Marlina
(UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)
Kita tak pernah tiba karena janji,
melainkan karena senja—
yang merayap di sela jendela
dan duduk diam di cangkir kita.
Langit berpendar jingga,
seperti luka yang tak lagi berdarah
namun tetap terasa.
Meja kayu menyimpan uap
dan rahasia air mata
yang kita larutkan dalam tawa seperlunya.
Kau bukan jawaban,
aku bukan pertanyaan.
Kita adalah diam
yang tak saling menjelaskan,
tapi saling memahami arah pulang
meski tanpa peta.
Kopi mendingin pelan,
seperti cahaya yang merunduk
di balik bukit.
Dalam uap terakhirnya,
kulihat wajahmu:
bayang yang tak sempat menjadi malam.
Senja itu tak pernah sepenuhnya redup
karena kita tetap tinggal,
meski bayang dunia
terus berubah bentuk
dan jalan pulang
berliku tanpa nama.
Jika hidup adalah labirin,
hadirmu adalah selasar cahaya—
tempat aroma kopi menuntunku
melewati lengang,
melewati patah,
menuju sejenak yang utuh.
Dan andai malam menelan segalanya,
biarlah catatan malaikat
menyimpan pahit manis perjamuan ini
sebagai bukti:
kita pernah berteduh di aroma senja,
dan saling menjaga
tanpa harus memiliki.
Victoria, Australia, 2011
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/8/
SENJA DI HATIMU
Puisi: Muslimin (Cak Mus)
(PPIPM-Indonesia; Satu Pena – Jatim, KEAI, WPM-Indonesia]
senja di hatimu masih jingga
kuterka isinya masih ruang rindu hampa
sudut-sudutnya nol derajat acuh biaran
tak jelas rasa yang kau sembunyikan
kucoba mencari dalam jejak lirik rembulan
aku kian tersesat belantara impian
kukira fajar menerbit harapan
pagi mentari menguap jangkauan
bersama embun menjerit keterikan
senja di hatimu bisakah untaian hujan
menitik batu tanpa hirau dingin malam
mengukir kata rindu meski samar sekadar
sudah pijar kalbuku mengusung asa
bersama mekar sakura sepanjang jalan
akan kurangkai persembahan takdir yang direkatkan
mendekap bayangmu dalam hening kesyahduan
Lamongan, JATIM,
30 Oktober 2024
—————————
Tentang Penulis: Muslimin
Sang penulis dengan nama asli Muslimin memikiki panggilan Cak Mus. Lahir di Lamongan, Jawa Timur, 20 Mei 1969. Setamat dari SMAN 2 Lamongan, kuliah di IKIP Negeri Surabaya Jurusan Bahasa Indonesia. Mengajar sejak 1991 di MTs A. Wahid Hasyim Tikung, SMP-SMA Tashwirul Afkar Sarirejo, SMP Islam Tikung, PKBM Mahayana dan PKBM Mizan Lamongan. Aktif di PERGUNU Lamongan dan Lembaga Bahtsul Masail MWC NU Tikung Lamongan.
/9/
ULURAN TANGAN
Puisi: Dilla, S.Pd.
(PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, WPM-Indonesia)
Kita lahir dari rahim yang berbeda
Namun hidup di dunia yang sama
Tertawa dan menangis dalam cara berbeda
Namun air mata tetap bening perih dan asin
Tak ada arti beda kulit dan rupa
Karena kita bisa saling menyapa
Apa guna beda nama dan gelar
Jika nurani kita dibiarkan lapar?
Kemanusiaan bukanlah dia yang paling tinggi
Bukan yang paling banyak gelar
Bukan yang paling vokal bersuara
Tapi siapa yang paling mengerti dan merasa
Siapa yang sudi mengobati dan mendengar mereka yang terluka
Uluran tangan bukan untuk menunjuk
Namun untuk membnatu mereka yang terpuruk
Membuka mata bukan untuk mencari yang salah
Namun untuk melihat harapan mereka yang mulai pasrah
Yakinlah di ujung segala rupa
Kita hanyalah manusia yang akan kembali ke tanah jua
Karena di dunia ini, kita bisa bertahan karena saling mengasihi
Bukittinggi, Juni 2025
———————————
Tentang Penulis : Dilla, S.Pd
Dilla, S.Pd. lahir di Bukittinggi tahun 1981. Dari tahun 2005-2010 mengajar di SMKN 2 Kota Bukittinggi, Pada tahun 2005-2023 mengajar di SMP Islam Al-Ishlah Bukittinggi, dan pada tahun 2023-sekarang bertugas di SMPN 2 Bukittinggi, sebagai guru Bahasa Indonesia. Mulai aktif menulis dan menggiatkan literasi dari tahun 2013. Sudah menerbitkan 6 buku tunggal dan puluhan buku antologi dengan berbagai event kepenulisan. Salah satu buku kumpulan puisinya yang banyak dibaca oleh masyarakat berjudul “Bulan di Balut Debu”.
Prestasi yang pernah diraih:
Nominasi penulis berprestasi dan prolifik dari Satu Pena Sumatra Barat dalam rangka IMLF-3, Penerima Anugerah Guru Berprestasi Nasional Bidang Literasi dalam Festival Literasi Kreatif Nasional 2025 diadakan oleh JB Edukreatif Indonesia pada Februari 2025.
/10/
YANG TAK DAPAT KUKUBUR DALAM DIRIKU
Puisi: Leni Marlina
(UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)
Aku pernah mencoba melupakan namanya—
seperti menghapus bayangan dari air:
ia kembali dalam bentuk paling sunyi,
napas yang lupa pada asalnya.
Ia tak duduk di meja makan,
tapi sendok bergetar dalam kesepian.
Ia tak kusebut dalam doa,
namun sujudku menyentuh jejak air matanya.
Pernah kutulis hidupnya dengan huruf kabut,
baris-barisnya mengembun di jendela ingatan
yang tak bisa kubuka
tanpa hujan jatuh dari mataku sendiri.
Ia bukan kenangan, bukan pula gema.
Ia adalah tubuh yang diam dalam tubuhku.
Kutatap cermin—bukan aku di sana,
melainkan ia,
yang tak dapat kukubur
dalam diriku.
Victoria, Australia, 2011
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/11/
KADANG AKU TAK MENGENALNYA
Puisi: Nasri A. Muhammad Abduh
(PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sulsel, KEAI)
Kadang aku tak mengenalnya,
namanya lewat di hari ulang tahun—
kutulis doa lirih:
“Semoga umurmu diberkahi waktu.”
Kadang aku tak mengenalnya,
tapi duka menyelinap lewat layar—
kutitipkan takzim:
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Kadang aku tak mengenalnya,
tapi postingannya menyalakan terang,
kupencet hati,
karena itu pun caraku menyapa.
Kadang aku tak mengenalnya,
namun kudengar sunyinya,
lalu kujawab:
“Subhanallah… semangat, Kakak.”
Kadang aku tak mengenalnya,
kulihat wajahnya runtuh,
kudekati dengan salam dan tangan terbuka:
“Ada yang bisa kubantu?”
Kadang aku tak mengenalnya,
mereka menari dalam riuh Tiktok,
dan aku, si asing yang singgah,
berujar:
“Boleh aku ikut sedikit bahagia?”
Kadang aku tak mengenalnya,
tapi foto itu menyimpan tubuh lemah,
dan aku menuliskan:
“Semoga sakitnya diangkat Tuhan.”
Kadang aku tak mengenalnya,
namun saat ia bingung soal unduhan,
kujelaskan seperti sahabat lama.
Aku menyapa yang tak kukenal.
Sok akrab? Tidak.
Sok tahu? Bukan.
Hanya ingin menjadi manusia
di tengah semesta yang sibuk lupa.
Dan suatu waktu,
mereka yang tak kukenal
menyapaku lebih dulu:
“Eh, Kakak, apa kabar? Ada lowongan kerja?”
Aku tersenyum,
“Alhamdulillah baik, kamu gimana?”
Kadang, justru yang benar-benar kenal
mengundangku ngopi—
aku tak datang.
Sibuk? Tidak.
(Mungkin hanya terlalu diam dalam dunia.)
Begitu banyak yang ganjil di bumi ini.
Kita bisa serupa.
Atau sama sekali berbeda.
Tapi yang pasti—
kematian tak pernah jauh dari langkah kita
Makassar, Sulsel,
Agustus 2025
/12/
TEMAN SEPERJUANGAN
Puisi: Leni Marlina
(UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)
Kita adalah dua arang
yang belum jadi abu,
di tengah perang yang tak pernah punya siaran langsung.
Tak ada medali.
Tak ada mimbar kemenangan.
Hanya kita—dan langkah-langkah yang tak pernah dirayakan.
Kau dan aku bukan pahlawan cerita,
karena tak ada yang menulis kisah
tentang orang-orang yang bangun
setelah terjatuh untuk keseratus kalinya,
lalu berjalan lagi
tanpa tahu apakah esok lebih baik
atau hanya luka yang baru.
Kau menggenggamkan tanganku pada pagi yang beku,
bukan untuk memaksaku berlari,
tapi agar aku tahu:
ketika dunia menjadi terlalu berat,
ada seseorang yang ikut memanggul diam-diam.
Kita mungkin tak bisa menyelamatkan siapa-siapa.
Tapi kita tahu bagaimana rasanya
tak diselamatkan.
Dan karena itu, kita tetap tinggal.
Tetap saling menjadi tiang
saat tubuh mulai menjadi rumah roboh
bagi jiwa yang nyaris lenyap.
Teman seperjuangan bukan soal siapa lebih kuat,
tapi siapa yang tetap ada
saat semua alasan untuk bertahan
mulai kehilangan bentuk.
Jika nanti kau lelah,
dan aku lebih dulu diam,
ingatlah:
aku pernah berdiri di sebelahmu,
mendengar sunyi yang sama,
menangisi langit yang sama,
dan percaya,
bahwa bertahan pun
adalah bentuk mulia dari perlawanan.
Victoria, Australia, 2011
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
—————————–
Tentang Penulis: Leni Marlina
Leni Marlina merupakan seorang penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam – Sumbar dan berdomisili di Padang.
Sejak tahun 2022, Leni Marlina merupakan anggita aktif SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat dan anggota aktif World Poetry Movement (WPM-Indonesia)
Leni Marlina, sang penulis buku antologi puisi bilingual (Indonesia-Inggris) “The Beloved Teachers”, “L-BEAUMANITY (Love, Beauty and Humanity)” & “English Stories for Literacy” dianugerahi penghargaan sebagai Penulis Terbaik Tahun 2025 oleh SATU PENA Sumatera Barat dalam acara Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3).
Sejak 2006, hampir dua dekade, Leni Marlina mengabdi sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Di luar aktivitas kampus, Leni juga menulis sebagai jurnalis lepas, editor, redaktur dan kontributor digital di sejumlah media lokal, nasional dan internasional. Sejumlah karya puisi Leni yang ia sumbangkan untuk pembaca di tanah air dan di perantauan luar negeri dapat dibaca di: https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa
Leni telah mendirikan, memimpin dan mendampingi sejumlah komunitas literasi, sastra, sosial berbasis digital, antara lain:
1. PPIPM- Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat)
2. Poetry-Pen International Community (PPIC)
3. Literature Talk Community (Littalk-C)
4. English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C)























