Oleh: Musfi Yendra
(Ketua Komisi Informasi Sumbar/Pecinta Puisi)
HAMID JABBAR adalah seorang wartawan, sastrawan dan penyair Indonesia asal Minangkabau. Karyanya lebih banyak memberi pesan religi. Tentang Islam. Parni Hadi, seorang wartawan senior, ia juga ayah angkat saya, menulis sebuah buku berjudul Jurnalisme Profetik. Pemberitaan yang menyampaikan pesan kenabian, memberi kabar gembira atau juga petakut bagi umat manusia.
Izinkan saya menyebut Hamid Jabbar sebagai Penyair Profetik. Melalui puisinya ia mengingatkan kita tentang Tuhan, Kenabian, Kehidupan dan Kematian. Karya-karya Hamid Jabbar bagi saya mengandung kekuatan ruhiyah yang amat dalam.
Puisi berjudul Setitik Nur yang ia tulis tahun 1973, merupakan metafora bagi kesadaran spiritual dan pemahaman yang mendalam akan keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia. Saya yakin Hamid Jabbar pernah mengalami perjalanan spritual hebat dalam hidupnya. Mungkin saja ia mendapat ilham. Sehingga karya Setitik Nur yang ia tulis 51 tahun silam itu akan tetap bermakna dan ber-ibroh hingga kehidupan dunia ini berakhir.
Sepintas sulit memaknai puisi Setitik Nur. Sebab bahasanya yang sangat sufistik. Membaca Setitik Nur harus disertai dengan iman, untuk mengungkap maknanya.
…Bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak dari kuasa-Mu selalu…
Maknanya amat dalam. Allahuakbar!
Menurut saya karya sastra seperti yang ditulis oleh Hamid Jabbar itu harus terus dilanjutkan generasi sekarang. Pesan dan nilainya jadi wasilah dakwah untuk dunia yang sudah tua, dan semakin banyak penyakitnya. Ini akhir zaman. Sahabat Rosul dan ulama-ulama besar Islam banyak menciptakan syair. Syair yang mengingatkan manusia dari keterpurukan untuk kembali bangkit sesuai ajaran Qur’an dan Assunnah.
Menurut saya konten seni yang edukatif dan relijius bisa menjadi sarana efektif untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada generasi gen-z dan milenial saat ini. Sarananya pun lebih mudah melalui sosial media. Seni tidak boleh larut dalam nuansa melow, yang membuat generasi kita menjadi murung dan sulit move on.
Hamid Jabbar sudah lama meninggalkan kita, 20 tahun ia berpulang. Ia meninggal pada 29 Mei 2004 ketika sedang membacakan puisi karyanya yang berjudul Merajuk Budaya Menyatukan Indonesia. Begitu cinta ia dengan puisi, berangkatnya saat membaca puisi. Insya Allah husnul khotimah. Amin.
Kita kenang Hamid Jabbar. Jasadnya telah tiada. Namun karya-karyanya tetap harus kita hidupkan untuk generasi kini dan berikutnya. *)