Oleh : Two Efly
// forumsumbar //
ADA cara berpikir yang aneh. Setiap investor (pemegang saham) tentu menginginkan margin dan deviden yang besar. Sungguh aneh rasanya kalau ada investor yang pikir sebaliknya. Ketika bisnis yang digelutinya sedang bagus bagusnya, eh malah ujuk ujuk ingin “mengusik usiknya”. Itulah yang terjadi pada Bank Nagari.
Benarkah sedang bagus bagusnya? Mari kita bicara data. Hingga Q2/2021 total Laba Bersih Usaha Tahun Berjalan yang sudah mampu dibukukan sebanyak Rp 215 Milyar (Un Audit). Capaian Laba Bersih Usaha ini terealisasi 120 persen dari target yang ditetapkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan target Laba Bersih Usaha sebesar Rp 180 Milyar.
Capaian laba yang bagus ditengah deraan wabah Covid-19 ini membuat sejumlah indicator utama keuangan Bank Nagari menjadi kian membaik. Total asset hingga akhir Q2/2021 tercapai sebanyak Rp 27 Triliun lebih, realisasi Kredit meningkat menjadi Rp 20 Triliun, Dana Pihak Ketika (DPK) meningkat menjadi Rp 22,8 Triliun, Retunr on Asset (RoA) naik menjadi 2,11 persen. Sementara Non Perfomance Loan turun menjadi 2,71 persen. Sudah barang pasti, Return on Equity (RoE), Net Interest Margin (NIM), Ratio BOPO (Biaya Operasional berbanding Pendapatan Operasional) juga membaik. Bukankah ini sebuah capaian yang patut kita apresiasi di tengah resesi ekonomi?
Jika trend kinerja baik ini mampu dipertahankan manajemen hingga per 31 Desember 2021 tak tertutup kemungkinan Laba Bersih Usaha akan menembus angka diatas Rp 400 Milyar dan ini adalah pencapaian terbaik. Bagi Pemerintahan Daerah se Sumatera Barat sebagai pemegang saham inilah yang diharapkan. Peningkatan laba sudah pasti akan meningkatkan besaran deviden. Jika Laba Bersih Usaha Tahun 2021 ini bisa dibukukan diangka Rp 400 Miliar saja maka itu berarti 70 persen dari Rp 400 Milyar itu menjadi deviden. Nilai jelas cukup lumayan mencapai Rp 280 Milyar yang akan terdistribusikan menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemprov akan mendapatkan lebih kurang Rp 87 Milyar karena memiliki saham 31 persen. Sementara 193,8 Miliar lagi akan terdistribusi ke Kabupaten/Kota sesuai saham yang dimiliki pada Bank Nagari. Kemana lagi PAD “sanang” sebanyak itu akan dicari disaat Covid-19 mewabah ini.
Pengaburan Fakta
Ada upaya untuk “mengaburkan” fakta. Sebagai jurnalis kami melihat seolah olah konversi Bank Nagari dari system Konvensional ke system Syariah menjadi satu satunya jalan untuk mewujudkan Bank Nagari Syariah. Konversi seolah olah menjadi satu satunya pintu untuk melepaskan masyarakat dari jeratan stigma riba. Ini sangatlah keliru dan mengaburkan fakta sebenarnya.
Kenapa? Layanan Syariah itu sudah ada di Bank Nagari semenjak lama. Bank Nagari Syariah itu sudah ada dan beroperasional jauh sebelumnya keputusan konversi itu lahir pada RUPS-LB Tanggal 30 November 2019 yang lalu. Layanan Syariah itu sudah mulai beroperasi dan melayani nasabahnya semenjak tahun 2008 yang lalu. Bahkan layanan syariah itu sudah dilengkapi dengan satu Direktorat Khusus (Divisi Syariah) di Kantor Pusat Bank Nagari dan Empat Kantor Cabang. Selain itu melalui 250 karyawannya, layanan Syariah sudah dapat dinikmati melalui 116 Kantor Cabang dan Cabang Pembantu Bank Nagari. Mulai yang berada di kampung halaman hingga ke Kantor Cabang Bank Nagari yang berada di perantauan. Bahkan hingga akhir Q2/2021 ini total assetnya sudah mencapai lk Rp 2,5 Triliun.
Secara bentuk memang bukan Bank Umum Syariah (BUS) namun masih berbaju Unit Usaha Syariah (UUS). Namun, secara substansi tidak ada perbedaan layanan perbankan antara Bank Umum Syariah (BUS) dengan Unit Usaha Syariah (UUS). Keduanya sama sama beroperasi layaknya Bank Syariah. Sesuai namanya Bank, maka pastilah fungsi utamanya adalah intermediasi. BUS dan UUS sama sama menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana itu kembali kepada masyarakat. Untuk bidang Pendanaan sama sama memiliki produk Tabungan dan Giro Wadiah, sama sama memiliki Deposito Mudharabah. Begitu juga dengan Pembiayaan. Sama sama memiliki produk Pembiayaan yang berbasis pada prinsip prinsip Fiqih dengan iconic system berbagi hasil serta ijab dan qablul.
Sebetulnya substansi untuk konversi sudah tercapai. Kalau memang ingin juga bersyariah maka besarkan saja Unit Usaha Syariah Bank Nagari itu. Ormas, pengamat, pemerhati yang benar benar peduli dengan ekonomi syariah menabunglah di Unit Usaha Syariah itu. Bila perlu Pemprov Sumbar sebagai pemegang saham 31 persen lebih menjadi “Tut Wuri Handayani”. Alihkan dan pindahkan semua dananya dari Bank Nagari konvensional ke Unit Usaha Syariah Bank Nagari. Pindahkan juga gaji seluruh PNS di lingkungan Pemprov ke Unit Usaha Syariah, pindahkan rekening penampungan pendapatan daerah ke Unit Usaha Syariah. Kalau perlu tabungan pejabat dan isteri pejabat di lingkungan Pemprov Sumbar diwajibakan ke Unit Usaha Syariah. Itu jauh lebih riel dan nyata keberpihakannya. Jika itu dilakukan yakinlah pemegang saham yang lain akan mengikuti dan Unit Usaha Syariah Bank Nagari akan menjadi jauh lebih besar.
Kini sudahlah, kita carikan sajalah jalan terbaik. Besarkan saja keduanya. Janganlah digiring giring juga “bola” liar ini ke ranah politik. Itu jelas tak elok dan hanya akan menyulitkan Bank Nagari itu sendiri. Ingat, para pendahulu (Kepala Daerah sebelumnya-red) dan para pelaku sejarah Bank Nagari ini “berdarah darah” membangun dan membesarkan Bank Nagari hingga berassetkan menjadi Rp 27 Trilun lebih seperti saat ini. Janganlah melupakan dan menghapus begitu saja sejarah panjang itu. Sekali lagi, jangan lihat Bank Nagari seperti saat ini. Lihatlah bagaimana Bank Nagari itu berkantor di salah satu ruangan kecil pada bangunan tua di Kawasan Muaro Pantai Padang tepatnya di Pinggiran Sungai Batang Harau.
Akan merasa aneh rasanya kalau masih aja ada yang ngotot untuk konversi dalam kondisi ekonomi seperti ini. Maaf, jangan jangan ada udang “dibalik batu”. Sebab, salah satu syarat yang belum terpenuhi dari 16 syarat untuk pengajuan konversi ke Otoritas Jasa Keuanga (OJK) adalah pengajuan calon pengurus perusahaan yang baru. Ingat untuk pengajuan konversi itu harus dilengkapi dengan siapa nama calon pengurus yang baru. Baca dan kuliti betul point ke empat dari 16 syarat wajib tak boleh sumbing untuk pengajuan konversi ke OJK itu. Mulai dari Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah harus diusulkan kembali. Namun penulis yakin tidak seperti itu betullah, he he he.
Dulu Vs Sekarang
Setiap orang pasti benci dengan sikap inkonsistensi. Namun ada waktu dan masa yang membuat kita terpaksa harus inkonsisten. Pepatah Minang mengatakan, “Sasek di ujung jalan ba baliak ka pangka jalan”.
Secara prinsip tak ada yang salah dengan konversi. Sebab, regulasi juga membatasi Unit Usaha Syariah dengan waktu dan asset. Amanat UU No 21 Tahun 2008 itu menyatakan bahwa, bila Unit Usaha Syariah sudah berassetkan melebihi separoh dari asset induknya maka dia harus di Spin Off. Dalam butir lain juga menyebutkan 15 tahun setelah didirikan Unit Usaha Syariah itu harus di Spin Off atau dilikuidasi. Inilah keterbatasan yang terjadi sehingga opsi konversi diambil.
Itu dulu. Kondisi saat ini berbeda. Covid-19 yang menjerumuskan bangsa ini ke jurang resesi membuat regulator melakukan beragam diskresi untuk penyelematan. Termasuk amanat Mandatory dari UU No 21 tahun 2008 tersebut menjadi Volantary sebagaimana disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Heru Kristiyana (dikutip dari www.bisnis.com 19/01/2021). Kondisi ini juga tak terlepas dari tidak bertumbuh bagusnya Unit Usaha Syariah terutama di lingkungan PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) se Indonesia.
Selain itu kita juga musti ingat saat keputusan konversi itu diambil, makro, mikro serta political, anggaran sedang bagus. Tahun 2019 itu ekonomi nasional dan daerah kita masih baik baik saja. Ekonomi masih bertumbuh re rata 5 persen. Anggaran tak ada yang pangkas, recofusing tak terjadi, Covid-19 tak mewabah seperti saat ini. Satu yang tak kalah kalah penting adalah Pendapatan dan daya beli masyarakat bagus. Sehingga, dunia usaha berjalan dengan baik.
Lihatlah realita dunia usaha saat ini. Pasar kredit menyempit dan sulit. Mayoritas lembaga keluangan mengalami “kolesterol” karena surplus likuiditas. Silahkan buka data bank di Sumatera Barat hingga Juni 2021. Kredit sulit untuk diguyurkan karena dunia usaha betul yang memang tak berjalan normal. Pembatasan aktivitas bisnis terjadi, PPKM atau apalah nama mengunci pergerakan manusia dan roda ekonomi. Jangankan untuk ekspansi kredit, mearawat kredit yang ada saja manajemen bank sudah “separoh mati”. Ingat konversi itu pada hakikinya membubarkan/melikuidasi/menutup bank lama dan membuat bank baru. Masihkah kita mau coba coba dengan keputusan konversi yang penuh resiko itu?
Awas Resiko
Tak ada keputusan yang tak membawa resiko. Konversi juga begitu. Selain membawa resiko dalam perjalanan bisnis bank, konversi menghadirkan pembengkakan biaya. Benarkah? Mari kita buka data. Pertama, konversi pastilah memerlukan jasa pihak ketiga. Sebab, manajemen tak akan bisa dimaksimalkan untuk itu karena harus focus menjaga dan menjalankan usaha agar bisa bertahan ditengah deraan badai Covid-19. Jasa pihak ketiga itu tak gratis dan tak bisa selesai dengan terima kasih atas pengabdiannya ke kampung halaman. Milyaran dana yang harus digelontorkan.
Kedua, biaya penyesuaian operasional. Mulai dari pembuatan Standar Operasional Prosedur, produk apa yang akan dilahirkan untuk nasabah dana dan kredit, system pelaporan keuangan seperti apa yang digunakan. Semuanya itu tidaklah turun dari langit. Semuanya itu dibuatkan dan memerlukan biaya besar juga untuk membuatnya.
Itu baru untuk operasional, belum lagi kita bicara Core Banking System. Jaringan online system juga harus disesuaikan, koneksisasi antar kantor Bank Nagari termasuk koneksi ke OJK dan Bank Indonesia juga harus dilakukan. Ini bukan perkara mudah yang bisa didapatkan dengan gratis, puluhan milyar dan bisa jadi ratusan milyar dana yang harus digelontorkan lagi untuk itu jasa Financial Teknologi tersebut. Benar ini adalah investasi, tapi muara akhirnya tetaplah biaya dan itu pasti akan menggerus laba.
Nantilah kita bicara resistensi dari deposan terhadap konversi karena deposan terkendala regulasi internalnya. Kita abaikan saja dulu peringkat dan Tingkat Kesehatan Bank (TKB) walaupun sebenarnya itu adalah wajib dan mutlak. Mau keluar ataupun tidak Dana Pihak Ketiga yang corporate besar itu adalah masalah tersendiri. Biaya untuk pengalihan system itu tak sedikit. Belajar dan bertanyalah kepada perbankan yang sudah melaksanakan. Tanyalah BPD NTB, tanyalah BPD Aceh, jangan hanya sekedar melihat mereka konversinya saja. Konsekwensi biaya dari pelaksanaan konversi itu bagaimana sampai saat ini.
Ketiga, kehilangan laba akibat “hapus” buku kredit bermasalah. Kredit masalah harus dihapus bukukan secara akuntansi. Secara bertahap, sebelum beroperasional syariah penuh, kredit masalah harus “dibersihkan”. Polanya adalah dengan menaikan biaya pencadangan (CKPM dan PPAP). Memang ini akuntansi tapi wujud akhirnya tetap saja “mancucuik laba”. Untuk itu lihatlah dalam dalam resiko itu, jangan hanya kulit luarnya saja.
Apa konsekwensinya bagi pemegang saham? Pastilah deviden. Pembekakkan biaya yang tak bisa dihindari tadi muara akhirnya adalah penurunan laba. Besar atau kecil penurunan kita lihatlah capaian laba tahun berjalan. Namun jika kita belajar ke sejumlah bank yang melaksanakan konversi disitulah “turbulensi” awal terjadi. Total asset bisa saja turun sedikit atau bertahan, tapi biaya dipastikan melambung. Laba dipastikan tergerus dan sudah barang pasti deviden turun. Maukah pemegang saham menanggung resiko itu ditengah sulitnya mencari PAD saat ini akibat pandemic Covid-19?
Sudahlah, kenapa kita menyulit nyulitkan diri. Besarkan sajalah Unit Usaha Syariah dan system konvensional yang ada di Bank Nagari saat ini bersamaan. Lebih baik pemegang saham memfokuskan diri melaksanakan tanggungjawabnya kepada public. Covid-19 bukan masalah kecil dan main main. Ingat, Sumbar ini wilayah terbanyak PPKM nya di pulau Sumatera. Jangan abaikan itu. Dampak Covid-19 itu sangatlah sistemik. Tak saja nyawa warga yang direnggutnya ekonomi masyarakatpun dipukul Knok Out (KO) nya. Lebih baik Kepala Daerah memikirkan itu. *)
Penulis adalah Wartawan Ekonomi
(Tulisan yang sama sudah terbit di “Teras Utama” Harian Padang Ekspres, Senin 19 Juli 2021).