Dalam perjalanan dari Padang ke Bukittinggi telah lama penulis tertarik memahami bisnis kecil bika. Di sepanjang jalan Kotobaru, penulis menemukan tujuh buah usaha kecil penjulan bika. Di Simpang Pinjaram, sebelum Kayutanam juga eksis sekitar 7 buah penjual bika.
Masih ingat, yang sering terkenal sejak dulu dinamakan Bika Si Mariana. Sampai sebuah lagu pernah diunggah oleh penulisnya tentang bika ini. Usaha bika ini masuk kategori mikro-kecil. Usaha kecil ketika jumlah tenaga kerjanya pada kisaran 3-5 orang. Jumlah tenaga kerja 2 orang, masih masuk kategori usaha mikro.
Bika termasuk makanan khas. Diproduksi bisa mirip ’pencake’ alias pinukuik. Namun, menghasilkan bika khas Kotobaru tidak bisa dengan mudah. Produksi baru dilakukan ketika ada permintaan. Karena kalau tidak ada permintaan, bika yang lebih dulu masak dan sudah dingin, konon kabarnya kurang disukai, dibanding yang panas dan baru masak. Bika ini kuliner yang enak dimakan ketika masih panas.
Berbahan baku tepung, kelapa, gula dan saka, dari segi bahan baku mudah tersedia. Tidak ada yang diimpor. Hitung-hitung tidak terlalu besar investasi yang diperlukan.
Masing-masing tungku yang dibangun dengan batubata merah, tempat memasak belanga yang dari tanah liat yang sepasang untuk membuat panas dari atas dan dari bawah. Kukur kelapa, untuk memarut kelapa, dan tempat untuk display, serta lahan parkir.
Bika juga tidak terlalu banyak variasi sejak dahulu sampai sekarang. Bisa yang biasa dan campuran dengan pisang. Bahan untuk rasa manis juga ada yang mencampur dengan gula pasir, ada pula menggunakan saka tebu.
Usaha ini tidaklah secepat dan meroket pertumbuhannya. Namun, dapat dipastikan feasible. Ini ketika dilihat dari kondisi lingkungan, kelayakan rasa dan penguasaan teknologinya.
Feasible-nya terbukti sejak dulu sampai kini usaha bika masih tetap jalan. Berarti dari hari ke hari usaha ini bisa berkembang, tapi tidak mudah direplikasi, ditiru atau dimodifikasi. Mengingat sejak dahulu hingga kini jumlah dan keberadaan usaha ini masih tetap eksis dan terbatas.
Kondisi lingkungan strategis adalah penikmat bika terutama mereka yang menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua. Tentu pula konsumen yang menempuh daerah ini. Dengan hanya mengharap calon konsumennya mereka yang bepergian dengan kendaraan pribadi, maka tentunya potensi permintaannya terbatas.
Bisa jadi kenapa pertumbuhan usaha ini merangkak dan tidak cepat, karena konsumennya terbatas ’restricted costumer’. Bercirikan memiliki kendaraan dan bepergian. Sering konsumen berbelanja untuk di makan dalam perjalanan (di atas kendaraan), namun juga bisa sebagai oleh-oleh buah tangan ketika mengunjungi sanak famili.
Turun Temurun
Inovasi usaha tidaklah banyak. Baik dari segi bentuk dan bahan yang digunakan. Hanya saja proses memasaknya tetap menggunakan kayu, sabut kelapa dan tempurung. Bahan bakar ini tidaklah sama jika dimasak dengan oven, baik menggunakan arus listrik, maupun solar cell panel.
Dalam satu tungku, jumlah yang dimasak sebanyak tujuh buah. Cetakannya tidak ada, hanya dengan menarok di atas daun, kemudian bika jadi apa adanya. Proses penyengaian dari bawah dan atas berkisar antara 10-12 menit. Masing-masing usaha nampaknya bervariasi. Ada yang menggunakan 5 tungku, bahkan ada yang lebih sepuluh.
Jumlah tungku pemanas yang beroperasi tergantung kepada pesanan yang datang. Jika lima tungku, maka sekali memasak sebanyak 35 bika. Harga sama antartempat dengan Rp 3.000, maka sekali proses produksi sekitar Rp 100 ribu.
Dalam suatu wawancara mendalam yang penulis lakukan tanggal 30 Juni, sebuah usaha yang menggunakan 7 tungku pemasak, mereka menyebutkan minimal dapat terjual dalam sehari Rp 500 ribu, dan nilai penjualan tanggal 29 Juni sebesar Rp 2,5 juta.
Walau Nelly sang penjual sering menghitung penjualan mereka yang sering pada kisaran Rp 1-1,5 juta. Namun perkiraan kasar penuis, jika saja dalam satu bika harga sebesar Rp 3.000, maka sebenarnya setiap bika biaya pokok produksi sekitar Rp 1.000-1.500. Oleh karenanya, margin keuntungan cukup besar 50-65 persen. Harga bisa jadi masih mahal bagi calon konsumen berpenghasilan menengah dan bawah.
Jika saja biaya tenaga kerja dan bahan baku dikeluarkan, maka minimum satu usaha bika akan memperoleh minimal keuntungan harian sekitar Rp 250 ribu dan bisa jadi hari yang terpadat keuntungan bisa mencapai Rp 1 juta. Sebuah bisnis yang menggiurkan, tapi tidak bisa berkembang pesat gara-gara konsumennya terbatas.
Bisakah Diperbesar?
Jika konsumen hanya mereka yang memiliki kendaraan roda empat/ roda dua, maka faktor luasnya parkir akan menentukan banyaknya konsumen. Tetapi, jelas usaha ini tidak akan bisa lebih besar lagi, mengingat yang terbesar dan relatif banyak pengunjungnya hanya menggunakan tungku pemasak sebanyak 7-10 buah.
Memperbanyak tungku tidaklah cara yang paling efektif. Namun, mengupayakan segmen baru pembeli selain mereka yang memiliki kendaraan, mungkin akan meningkatkan produksi dan penjualan.
Inovasi pada lokasi, kebersihan tempat memanggang, tempat menunggu konsumen masih diperlukan perbaikan dan penataan. Ketika melihat usaha bika ini, penulis teringat ketika berjalan di desa-desa di Inggris dan Jerman, bagaimana usaha roti rumahan berkembang sedemikian rupa.
Kualitas tungkunya terlihat rapi, tukang masaknya memakai peralatan yang membuat mereka bisa memasak dengan senangnya. Tapi, rotinya juga dibungkus dengan bahan yang cantik. Bika masih ada ruang untuk perbaikan dan diversifikasi. Ini perlu detail diperbaiki. Pemasaknya menggunakan peralatan yang lengkap, termasuk baju putih agar kelihatan bersih, celemek dan yang penting pakai masker.
Diversifikasi masih memungkinkan mengingat sumber bahan selain gula, bisa dengan pemanis yang berasal dari saka enau. Suatu saat bika juga bisa dibuat bervariasi jenisnya, mirip roti yang dihasilkan di negara maju. Pinggir-pinggirnya yang hitam, semestinya dapat diatasi dengan meningkatkan mutu dan cita rasa. Bagaimanapun, bika ini telah menolong banyak penopang kehidupan. Pada tujuh usaha bika setidaknya sudah menyerap 20-30 tenaga kerja lokal. Bukankan usaha rakyat seperti ini yang perlu ditingkatkan?
Penulis : Prof. Elfindri (Guru Besar / Pakar Ekonomi Unand)