Oleh: Ade Kurniati
(Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UNP)
MENGACU pada UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) tarif PPN ini mengalami kenaikan bertahap. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu alat utama dalam sistem pajak di Indonesia.
Pemerintah merencanakan untuk menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dan berlaku pada Januari 2025 mendatang, PPN juga adalah salah satu sumber utama pendapatan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Kamis 14 November 2024, yaitu tujuan dari PPN ini menjaga kesehatan APBN dan harus berfungsi serta mampu merespons seperti pada saat menghadapi krisis keuangan gobal dan pandemi.
Menkeu Sri Mulyani juga mengatakan, kenaikan PPN bukannya membabi buta dan seolah tidak ada afirmasi atau perhatian terhadap beberapa sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan dan makanan pokok. Dan waktu itu termasuk debatnya cukup panjang.
Meskipun tujuan dari kenaikan ini meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini akan menjadikan pro dan kontra bagi masyarakat pasca pandemi Covid-19.
Memang kebijakan kenaikan PPN tidak dibuat secara mendadak, ini adalah bagian reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi defisit anggaran, dan meningkatkan rasio pajak.
Pemerintah membutuhkan sumber pendapatan tambahan untuk menutup defisit anggaran negara dari realisasi pendapatan negara Rp2.001,3 triliun. Namun penerimaan hanya Rp1.547,8 triliun artinya minus Rp453,5 triliun dari PDB pada tahun 2021.
Salah satu caranya dengan mengoptimalkan penerimaan pajak termasuk menaikkan tarif PPN. Data Kementrian Keuangan menunjukkan bahwa PPN menyumbang sekitar 42% dari penerimaan pajak total pada 2021.
Akibatnya, kenaikan tarif dianggap sebagai tindakan taktikal untuk meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, rasio pajak Indonesia agak rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara hanya 9,11% artinya jauh di bawah rata-rata global sebesar 15-20 persen.
Data BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan mengalami penurunan terus menerus menjadi 9,03% per Maret 2024. Ini merupakan terendah dalam satu tahun dekade terakhir dan juga yang menjadi ironis adalah jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan drastis 9,40% juta telah turun kelas selama lima tahun terakhir.
Di tahun 2024 ini Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut pada Mei sampai September 2024. Apakah berimbas penurunan daya beli di Kota Padang ?
Inflasi mempunyai kaitan erat dengan kemampuan daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan tetap. Inflasi mencerminkan daya beli dari uang yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Semakin tinggi inflasi maka semakin rendah nilai uang dan semakin rendah pula daya belinya. Untuk melihat turunnya daya beli, penulis menggunakan Kota Padang dan Kota Bukittingi sebagai indikator pendekatan dari Indeks Harga Konsumen (IHK).
Dari grafik tersebut menunjukkan adanya penurunan IHK setiap bulannya di Kota Padang dan Kota Bukittinggi.
Di Kota Padang tercatat pada Mei IHK mencapai 107,35 dan mengalami peningkatan pada bulan Juni sebesar 107,44. Namun hingga bulan Juli sampai dengan September kembali menurun mencapai 106,02.
Begitupun dengan Kota Bukittinggi, dimana perilaku konsumen terkait erat dengan penurunan IHK. Konsumen cenderung menunda pembelian saat harga terus turun karena mereka percaya bahwa harga akan menjadi lebih murah di masa depan.
Namun, keyakinan ini dapat menekan permintaan pasar lebih jauh, yang pada gilirannya akan memperburuk perlambatan ekonomi. Sebaliknya, daya beli riil masyarakat meningkat jika harga kebutuhan pokok turun lebih banyak.
Ini berarti pelanggan memiliki lebih banyak uang untuk membeli barang dan jasa lain yang sebelumnya sulit diakses. Hal ini dapat mendorong konsumsi di bidang tertentu.
Kota Padang terkenal sebagai pusat ekonomi berbasis UMKM. Lebih dari 60% perekonomian Kota Padang disokong oleh UMKM. Menurut data dari Dinas Koperasi dan UMKM, UMKM ini mencakup bidang seperti pembuatan rendang, kerajinan, dan pariwisata.
Namun, pelaku UMKM dan masyarakat yang bergantung pada sektor tersebut sangat khawatir tentang rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun mendatang.
Harga barang dan jasa yang dijual secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan PPN. Meskipun beberapa produk UMKM yang tergolong kebutuhan pokok mungkin tidak dikenakan PPN, sebagian besar produk lainnya, seperti makanan olahan, minuman, dan kerajinan, akan terkena dampak kenaikan PPN.
Dengan demikian, harga produk UMKM dapat meningkat, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya saing mereka di pasar lokal dan nasional. Bagaimana Pemerintah Kota Padang seharusnya bersiap-siap dalam menghadapi kenaikan PPN di tengah daya beli masyarakat yang menurun?
Bagi penulis kenaikan PPN berhubungan dengan fiskal, pemerintah perlu mempertimbangkan langka-langkah antisipasi demi kesejahteraan masyarakat khususnya Pemerintah Kota Padang.
Pertama, meningkatkan dukungan terhadap UMKM di era digitalisasi ini pemerintah memfasilitasi pelatihan digital bagi pelaku usaha agar mereka dapat memanfaatkan e-commerce dan memperluas pasar.
Dengan begitu penurunan daya beli lokal dapat diimbangi dengan peluang ekspansi ke pasar yang lebih luas. Penulis sangat mendukung hal ini karena sebagai mahasiswa kita tidak luput dari yang namanya digital online ini bisa jadi pendukung utama di era mahasiswa yang suka pesan makanan ataupun barang melalui online dan menjadikan cinta produk daerah.
Kedua, mengembangkan pariwisata sebagai alternatif ekonomi menjadi salah satu sektor unggulan yang ada di Kota Padang. Dengan memanfaatkan keindahan alam dan kekayaan budaya Minangkabau, Pemerintah dapat meningkatkan pendapatan daerah tanpa harus bergantung pada kenaikan harga barang konsumsi.
Ketiga, melindungi masyarakat berpenghasilan rendah atau masyarakat miskin dengan cara menyediakan pasar murah. Pemerintah dapat bekerja sama dengan distributor untuk menyediakan kebutuhan pokok dengan subsidi harga. *)