Oleh: Dr Wirdanengsih, SSos, MSi
(Kepala Pusat Riset Kearifan Lokal UNP)
DALAM berbagai kesempatan, umumnya kepala daerah dan wakilnya dalam suatu provinsi, baik kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/kanagarian, dalam menjalankan roda pemerintahan mengemukakan, akan memiliki komitmen untuk rajin ke lapangan, berdialog dengan masyarakat, melihat langsung kondisi rill di lapangan.
Berkunjung ke sentra ekonomi untuk melihat apa yang menjadi kendala yang dihadapi masyarakat, yang artinya kepala daerah ini dan wakilnya mempunyai komitmen tidak hanya sekadar menerima laporan jajaran SKPD saja.
Berbagai program penangulangan kemiskinan mulai dicanangkan dan dilakukan, salah satunya program untuk petani, yang digagas untuk mengerakkan perekonomian masyarakat. Program pro-petani juga dijabarkan dalam program penyejahteraan petani. Dan ini akan melibatkan berbagai instansi terkait.
Sebelum program ini lebih lanjut di lakukan, suatu hal yang perlu di respons tentang wacana pentingnya memahami pengetahuan lokal masyarakat dalam proses pembangunan agar program yang ada tidak menjadikan “pemasungan kreativitas masyarakat yang telah ada terabaikan”.
Kita dapat berkaca pada peristiwa ledakan hama wereng yang sangat serius di jalan Pantura Jawa Barat dan ledakan hama belalang di Lampung beberapa tahun yang lalu. Dalam kedua peristiwa di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam proses pembangunannya terdapat suatu pengetahuan lokal yang teracuhkan.
Pengetahuan ilmiah sering dianggap sebagai landasan satu-satunya bagi pengaturan kehidupan di dunia oleh pengambil kebijakan di negeri ini. Telah berkembang suatu hegemoni pengetahuan ilmiah atas pengetahuan-pengetahuan lain yang banyak tersebar dalam komunitas masyarakat lokal.
Dengan kata lain, ada suatu degradasi terhadap pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat yang secara tidak langsung juga mendegradasi atas kebebasan masyarakat untuk beradaptasi dalam pengelolaan sumber daya bagi kelangsungan hidup masyarakat agar tetap dapat bertahan hidup.
Ada kecenderungan wacana, pengetahuan dan reproduksi kekuasaaan atas pelaksanaan pembangunan itu datangnya dari pihak atas (top down), dimana pembangunan dilakukan tanpa melibatkan penduduk setempat dalam proses perencanaan dan tidak menganggap bahwa potensi lokal yang dimiliki masyarakat satu hal yang utama serta tidak mempertimbangkan apa yang menjadi kebudayaan petani.
Pada penelitian Yunita (1997), ledakan hama dalam dua peristiwa ini mengambarkan ketidaktahuan petani atas apa yang dilakukan bukan atas akumulasi proses pengetahuan dan pengalaman yang kaya mereka miliki sebagai landasan wujud tingkah laku mereka.
Rekomendasi dan penekanan dari pemerintah atas program pengunaan pestisida, pupuk, kredit dan lain-lainnya dilakukan secara terpaksa oleh petani tanpa mereka memahami mengapa mereka harus mengunakan pupuk urea, padahal lewat proses pengalaman mereka dalam bercocok tanam bertahun-tahun tanpa pupuk semacam itu pun telah dapat memenuhi kebutuhan mereka. Aneka ragam pupuk kimia termasuk pestisida sangat dianjurkan kepada petani untuk mengunakannya.
Petani dalam proses sebelumnya, memiliki kebebasan yang tinggi terhadap jenis padi yang cocok dan tepat untuk ditanam, petani belajar dan belajar terus mencoba bermacam-macam jenis padi hingga mereka menemukan hasil gabah sesuai dengan harapan mereka
Begitu juga dengan petak-petak sawah mereka tanami dengan jenis padi yang berbeda satu sama lainnya. Pemilihan padi ini tidak hanya berangkat dari hasil keputusan yang tampaknya sesaat, melainkan seperangkat pengetahuan ekologi yang kaya melalui proses belajar terus-menerus “mencoba dan mencoba” terhadap lahannya yang meliputi perlakuan air di sawah, pupuk, pengolahan tanah, pengendalian hama, umur padi, kualitas gabah dan lain-lain.
Petani mengambil keputusan atas pertanian mereka merupakan proses belajar dan pengamatan yang mereka miliki sehingga mereka memiliki kekayaan pengetahuan ekologiI yang dijalani dari musim ke musim.
Namun sejak adanya program pemerintah, sepertinya sering dipaksakan kepada petani, malah terjadi ledakan-ledakan hama yang tidak terkendali. hasil penelitian yang dilakukan oleh Labor Antrpolologi FISIP Universitas Indonesia (UI) menunjukkan ada suatu pengkerdilan terhadap pengetahuan ekologi mereka melalui program-program tersebut.
Mereka menjadi pelaku-pelaku yang diatur oleh pemerintah: apa yang harus di tanam, kapan mulai menanam dan bagaimana menanamnya, Dan sebagai pelaku, mereka harus menjadi pelaku yang patuh agar katanya tidak gagal program pertanian yang dicanangkan pemerintah sehingga terjadilah apa yang dikatakan dengan pemasungan kebebasan petani yang berdampak pada peristiwa ledakan hama besar-besaran.
Akhir kata, bagaimana kita ke depan, melalui program yang akan di lakukan, kita harus banyak belajar dari program pembangunan yang sebenarnya tujuan baik tapi kurang bermakna bagi penyelesaian masalah bagi masyarakat.
Daftar Pustaka;
Yunita. T.Winarto. Pendekatan Prosesual, Menjawab Tantangan Dalam Mengkaji Dinamika Budaya. Jurnal Antropologi UI No 60 tahun XXXIII Agustus-Oktober 1999